INDONESIAN younger POPULARITY

Tuesday, April 10, 2012

Pasar Modal dan Akuntansi

Akuntansi sebagai bagian dalam perekonomian didunia bukalah suatu alat yang tiba tiba muncul di peradapan, Perkembangan Akuntansi dari Sistem Pembukuan Berpasangan Pada awalnya, pencatatan transaksi perdagangan dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dicatat pada batu, kulit kayu, dan sebagainya. Catatan tertua yang berhasil ditemukan sampai saat ini masih tersimpan, yaitu berasal dari Babilonia pada 3600 sebelum masehi. Penemuan yang sama juga diperoleh di Mesir dan Yonani kuno. Pencatatan itu belum dilakukan secara sistematis dan sering tidak lengkap. Pencatatan yang lebih lengkap dikembangkan di Italia setelah dikenal angka- angka desimal arab dan semakin berkembangnya dunia usaha pada waktu itu. Perkembangan akuntansi terjadi bersamaan dengan ditemukannya sistem pembukuan berpasangan (double entry system) oleh pedagang- pedagang Venesia yang merupakan kota dagang yang terkenal di Italia pada masa itu. Dengan dikenalnya sistem pembukuan berpasangan tersebut, pada tahun 1494 telah diterbitkan sebuah buku tentang pelajaran penbukuan berpasangan yang ditulis oleh seorang pemuka agama dan ahli matematika bernama Luca Paciolo dengan judul Summa de Arithmatica, Geometrica, Proportioni et Proportionalita yang berisi tentang palajaran ilmu pasti. Namun, di dalam buku itu terdapat beberapa bagian yang berisi palajaran pembukuan untuk para pengusaha. Bagian yang berisi pelajaranpe mbukuan itu berjudul Tractatus de Computis et Scriptorio. Buku tersebut kemudian tersebar di Eropa Barat dan selanjutnya dikembangkan oleh para pengarang berikutnya. Sistem pembukuan berpasangan tersebut selanjutnya berkembang dengan sistemyang menyebut asal negaranya, misalnya sistem Belanda, sistem Inggris, dan sistem Amerika Serikat.
Sistem Belanda atau tata buku disebut juga sistem Kontinental. Sistem Inggris dan Amerika Serikat disebut Sistem Anglo- Saxon2. Perkembangan Akuntansi dari Sistem Kontinental ke Anglo- Saxon Pada abad pertengahan, pusat perdagangan pindah dari Venesia ke Eropa Barat. Eropa Barat, terutama Inggris menjadi pusat perdagangan pada masa revolusi industri. Pada waktu itu pula akuntansi mulai berkembang dengan pesat. Pada akhir abad ke-19, sistem pembukuan berpasangan berkembang di Amerika Serikat yang disebut accounting (akuntansi). Sejalan dengan perkembangan teknologi di negara itu, sekitar pertengahan abad ke-20 telah dipergunakan komputer untuk pengolahan data akuntansi sehingga praktik pembukuan berpasangan dapat diselesaikan dengan lebih baik dan efisien. Pada Zaman penjajahan Belanda, perusahaan- perusahaan di Indonesia menggunakan tata buku. Akuntansi tidak sama dengan tata buku walaupun asalnya sama-sama dari pembukuan berpasangan. Akuntansi sangat luas ruang lingkupnya, diantaranya teknik pembukuan. Setelah tahun 1960, akuntansi cara Amerika (Anglo- Saxon) mulai diperkenalkan di Indonesia. Jadi, sistem pembukuan yang dipakai di Indonesia berubah dari sistem Eropa (Kontinental) ke sistem Amerika (Anglo- Saxon). 

sedangan perkembangan SEJARAH AKUNTANSI DI INDONESIA sendiri dimulai dari hal ini :
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997).
Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanmkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur (Yunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).
Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soermarso 1995). Akuntan publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso 1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995).
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997).
Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)-telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997).
Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan ¬lembaga-lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan-satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pada tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditujukan untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagaai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency). Berikut ini tabel ringkasan perkembangan akuntansi di Indonesia
INDONESHIA NI OKERU KAIKEI-SHI
Indoneshia no kaikei kankō wa, 17 (ADB 2003) matawa yaku toshi 1642 (Soemarso 1995) ni tsuite Oranda no shokuminchi jidai ni sakanoboru koto ga dekimasu. Torēsu wa, akiraka ni Jakaruta (Soemarso 1995) nimotozuite kaikei kankō wa 1747-nen ni Indoneshia de mitsukeru koto ga deki, kaikei kankō o jissō Amphioen Sociteyt ni kanren shite imasu. Oranda no kono jidai ni rukapachiori ni yotte kaihatsu sa reta to shite, daburuentorīshisutemu (fukushiki boki) o dōnyū shimashita. Shokuminchi jidai no shuyōna shōgyō soshikidearu VOC – Oranda no kokuyū kigyō, (dīga to Yunusu 1997) kono jidai ni, Indoneshia no bijinesu kankō no jūyōna yakuwari o hatashita.
Shokuminchi jidai no keizai katsudō wa 1800-nendai to 1900-nendai shotō no ma ni kyūsoku ni zōka shita. Sore wa amari menanmkan Oranda no bijinesuman wa, Indoneshia ni tōshi suru koto o kyōsei saibai no haishi ni yotte tokuchōdzuke rareru. Zōka shita keizai katsudō wa, kaikeishi, hon kunren o uketa tsūyaku no juyō no shutsugen o unagashimasu. Kekka to shite, kansa kinō wa, 1907 (Soemarso 1995)-nen ni Indoneshia ni dōnyū sa reru yō ni narimashita. Kono kansa no nīzu ni kikai wa saishūtekini Oranda to sen’i seizō kigyō (Yunusu 1990) ni kanri o shien suru tame ni Indoneshia ni iku Igirisu no kaikeishi ni yotte hokaku sa reta. Dai ichi Indoneshia ni tōchaku shita naibu kansa-in wa, 1896-nen ni Indoneshia ni imasu (kaikei jimusho o seiri shi, seigyo) kansa gyōmu o suikō suru saisho vu~ansuhāhen ga 1907 (Soemarso 1995) de Indoneshia ni okura reta hito Labrijn – JWdesu.
Deribarībansuhāhen wa 1915-nen (Soermarso 1995) ni keisei sa reta jōtai no denshi seifu-kyoku no kaikeishi kaikeishi Dienst no sōsetsu no shuppatsu-tendesu. Saisho wa 1918-nen ni Indoneshia ni jimusho o setsuritsu kaikeishi furēze& Hogewegdesu. Kono jimusho no setsuritsu wa, hoka no kigyō ga 1920-nen ni kaikei jimusho no HYVoerens to Tsubone Belasting kaikeishi zeirishi – Dienst (Soemarso 1995-nen) no setsuritsu ni tsudzuita. Shokuminchi jidai ni wa, kōnin kaikeishi to shite hataraite ita dare mo Indoneshia. Kaikei bun’ya de hataraite ita Indonesa saisho no hito wa 1929-nen 9 tsuki (Soemarso 1995) 21-nichi ni sozei kaikeishi no kyoku de boki-gakari to shite ninmei sa reta JD masshīdesu.
Jimoto no kaikeishi (Indoneshia) no kikai wa, Indoneshia kara Oranda no genshō ni yori, nenkan 1942 kara 1945-nen ni tōjō shi hajimeta. 1947-Nen ni kyōju kokka Indoneshia de yuiitsu no kaikeishi ga atta. Hakase Abutari (Soermarso 1995). Oranda moderu no kaikei kankō wa, dokuritsu (1950-nen)-go no jidai ni shiyō sa rete imashita. Kaikei kyōiku to kunren wa mada Oranda no kaikei moderu ni yotte shihai sa rete imasu. Oranda no kokueigigyō to 1958-nen ni Indoneshia kara Oranda hito no imin no kokuyū-ka wa, kaikeishi ya senmonka (dīga to Yunusu 1997) no fusoku ni tsunagatta.
Kokuyū-ka to kaikeishi no fusoku nimotozuite, Indoneshia wa saishūtekini wa Amerika no moderu no kaikei kankō ni natte. Shikashi, kono jidai ni, Amerika no moderu no kaikei kankō wa, tokuni seifu kikande wa, Oranda no kaikei moderu ni tokekomu koto ga dekimasu. Akauntingu nado no ofā no kōsu, kōtō kyōiku kikan-sū no zōka, kin’yū kenkyūjo (kaikei, sutan no shūritsu daigaku) 1990, Padjajaran 1961-nen no daigaku, Kita Sumatora-shū, 1962-nen, 1962-nen to gajamada daigaku no airuranga daigaku, 1964-nen, 1952-nen ni kaikei o senkō shite Indoneshia daigaku no kaisetsu (Soermarso 1995) shita 1960-nen ni Amerika no moderu (ADB 2003) no Oranda no moderu no kaikei kankō e no henkō o motomeru puronputo ga hyōji sa remasu. Sonogo, 1970-nen ni, subete no kikan wa, kaikei shisutemu (dīga to Yunusu 1997) no Amerika no moderu o saiyō subekidearu.
1980-Nendai nakaba ni, tehnokrat made no gurūpu to wa, keizai to kaikei no kaikaku ni taisuru kenen o motte imasu. Gurūpu wa, sugureta kaikei jitsumu no shien o ukete, yori kyōsō-ryoku no aru keizai to, yori ichiba shikō o sakusei shiyou to shite imasu. Gurūpuporishīde wa, gaikokujintōshika ya kokusai kikan (rossā 1999) kara tsuyoi shiji o eta. Ni shiyō dekimasu ito to kōtei-tekina kekka o hyōji suru tame ni 1: Shihon’ichiba no kaizen, 1980-nendai to 1990-nendai shotō ni okeru kaikei kaikaku no dōnyū, no 3 shurui no kaisha no jissai no gazō o hyōji suru tosho – one to bēsu ishi kettei ni sōgū shita ōku no kigyō no renshū no mae ni Kokunai oyobi gaikoku ginkō kara no yūshi/ shin’yō, mō 1tsu no tame ni tekiyō sa reru sozei ni kanshite wa menjukkan fu no kekka (sonshitsu) (hyūi 1994).
1990-Nendai shotō ni, zaimu hōkoku no shitsu o kōjō sa seru tame no atsuryoku wa, tōshi-ka no shinrai to kōdō ni eikyōwoataeru kanōsei ga ari, zaimu hōkoku no fushōji no hassei ga fuzoku shite imasu. Dai ichi sukyandaru wa ginkō de~yuta (Suharuto daitōryō seigyo sa reru 3ttsu no zaidan ga shoyū suru puraibēto• banku) no baaidesu. Ginkō de~yuta wa, 1990-nen ni kōkai shitaga sonshitsu ga (ADB 2003) no tairyō o kaiji suru koto ga dekimasendeshita. Ginkō de~yuta mo mondai ni Bapepam, kansa-yaku matawa underwriternya ni subete no jōhō o shira sete imasendeshita. Zan’nen’nagara, ginkō de~yuta kansa hito wa mu gentei tekisei iken o hakkō shimashita. Kono kēsu wa, purazaindoneshia fudōsan (middo 1992-nen) to barito-gawa Taiheiyō mokuzai (1993) no kēsu ga tsudzuita. Rossā (1999) wa, seifu ga chōki-tekina tōshi no nagare o dōin suru koto ga dekiru moderudearu koto ga shihon’ichiba moderu” kajino” no tenkan o nozonde iru baai, Indoneshia no seifu wa, zaimu hōkoku no hinshitsu ga kaizen sa renakereba naranai to iimasu.
Sukyandaru wa, seifu ya kisei tōkyoku ga zaimu hōkoku ni kakaru genkakuna kisei no porishī o hakkō suru yō ni motome rarete imasu. Mazu, 1994-nen 9 tsuki ni, IAI o tsūjita seifu wa, zaimu kaikei kijun-sho (SFAS) to shite shira rete iru kaikei kijun no setto o saiyō shite imasu. Daini ni, Sekaiginkō (Segin) to kyōdō de, seifu wa, kaikei kisoku to kaikei senmon-shoku kenshū o kaihatsu suru koto o mokuteki to shita kaikei kaihatsu purojekuto o jissō shimasu. Daisan ni, 1995-nen ni, seifu ga gōdōkaisha-hō de kaikei shori ni kanren suru rūru o sakusei shimasu. Daishi ni, 1995-nen ni seifu ga shihon’ichiba-hō (rossā 1999) ni kaikei/ zaimu hōkoku no sokumen o kumikomu.
Nenkan 1997 – 1998 no rupia no geraku wa, zaimu hōkoku no shitsu o kōjō sa seru tame ni seifu ni atsuryoku o zōka shite imasu. 1998-Nen shotō made wa, hasan konglomarat, collapsenya ginkō shisutemu wa, seifu ga kokusai tsūka kikin (IMF) to kyōryoku shi, kokusai tsūka kikin (IMF) ni yotte teikyō sa reru berbagaai resukyūpakkēji o negoshiēto suru tame ni infure-ritsu to shitsugyō-ryoku o jōshō. Kono jiten de, erā wa chokusetsu hinkon-sō no kaikei kankō ya jōhō kaiji no shitsu no waru-sa (tōmei-do) o neratte imasen. Tsugi no hyō ni yōyaku Indoneshia ni okeru kaikei no hatten.
Shakai-teki seidjiteki hatten Keizai hatten Kaikei no hatten
Oranda shokuminchi jidai (1595-1945)
- Jawa ya hoka no shima no Oranda seigyo
- Isuramukyō ga taihan no shūkyōdeatta Indoneshia de no orandaryōhigashiindo bōekigaisha wa, masutā. Bōeki ni okeru senjūmin-zoku no sanka to katsudō ga kibishiku seigen sa remasu. Chūgokujin wa bōeki to mizu yusō no bun’ya de tokubetsuna kengen o ataerareta. Oranda no kaikei wa, Indoneshia de dōnyū sa remashita. Orandaryōhigashiindo no sōtoku ni yotte 1942-nen ni hakkō sa reru saisho no kaikei kisei. Genkin oyobi saiken no kanri o kitei suru kisei. (Abdoelkadir 1982)
Sukaruno jidai (1945-1966)
Indoneshia wa dokuritsu o eta. Daitōryō Sukaruno no rīdāshippu wa, Chūgoku (PRC) no seifu ni kinsetsu shite imasu. Kyōsan shugi no kūdetā no kokoromi ga soshi sa reta koto ni yotte 1965-nen ni hassei shi,-gun no yakuwari o shōrei suru Shakai ni okeru Chūgoku no taitō to fukōhei o shōrei suru koto ni yori bōeki no Oranda no shihai. Indoneshia wa saishūtekini kokka no yakuwari no yūi-sei ni yotte tokuchō dzuke rareru kaihatsu e no shakai shugi-tekina apurōchi o erabimashita. 1958-Nen, subete no Oranda kigyō ya Oranda no shimin no kokuyū-ka de Indoneshia no uchi, Amerika no daigakuin no gakusha kaikeishi to kaikei no ichi o kinyū shi, kansa shisutemu wa, Indoneshia, Amerika de dōnyū sa remashita. Oranda to Beikoku no kaikei moderu no ryōhō o issho ni shiyō sa rete imasu.
Gaidansu o teikyō suru tame ni, kaikeishi no katsudō o chōsei suru tame ni 1957-nen ni setsuritsu sa re kaikeishi no Indoneshia kyōkai.
Suharuto jidai (1966-1998)
Suharuto wa, kare no keizai seisaku e no apurōchi to seidjiteki hoshu shugi-sha de, 1966-nen ni shachō ni shūnin. Suharuto no rīdāshippu no shimo, keizai hatten wa, shihon shugi-tekina apurōchi ni motodzuite imasu. Gaikoku tōshi o shōrei shi, 1967-nen ni gaishikeikigyō no shutsugen o seisei suru gaikoku tōshi no hōsoku o hakkō shimashita.
Nenkan 1997 – 1998 Ajia kin’yū kiki wa, Indoneshia to, ōku no kigyō ga tōsan hitto
Chokusetsu gaikoku kigyō no honsha kara Indoneshia no jūgyōin e no kansetsu-tekina chishiki ya kaikei no senmon chishiki no iten wa, kigyō katsudō ni eikyō o ataemasu.
1973-Nen ni, IAI wa, kōdō no senmon kōdo ni kaikei gensoku to kansa kijun no setto o saiyō
1995-Nen ni saitaku shita kokusai kaikei kijun
Suharuto jidai no nochi ni (1998-Nen ikō)
Suharuto wa 1998-nen ni jinin ni oikomareta Indoneshia wa, keizai-teki kon’nan to shakai-teki antei-sei kara kusen Jōhō no kaiji o kaizen suru tame no kisei kyōka
sumber:http://staff.undip.ac.id/akuntansi/anis/2011/03/21/sejarah-perkembangan-akuntansi-di-indonesia/
1. Choi, Frederick D.S., and Gerhard D. Mueller, 2005., Akuntansi Internasional – Buku 1, Edisi 5., Salemba Empat, Jakarta. 

Sedangkan PASAR MODAL

PASAR MODAL

Pengertian pasar modal berdasarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal Menyebutkan bahwa pasar modal adalah bursa efek seperti yang dimaksud dalam UU No. 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 62). Menurut UU tersebut, Bursa adalah gedung atau ruangan yang ditetapkan sebagai kantor dan tempat kegiatan perdagangan efek, sedangkan surat berharga yang dikategorikan sebagai efek adalah saham, obligasi, serta surat bukti lainnya yang lazim dikenal sebagai Efek.

Pada beberapa literatur  terdapat bermacam-macam definisi pasar modal. Pada pengertian kali ini saya menggunakan definisi pasar modal sebagai berikut :

Pasar Modal adalah pasar yang di kelola secara teroganisir dengan aktivitas perdagangan surat berharga seperti saham, obligasi, option, warrant, right, dengan menggunakan jasa perantara, komisioner dan underwriter.
Fungsi Pasar Modal antara lain sebagai berikut :
  • Sumber dana jangka panjang
  • Alternative investasi
  • Alat restrukturisasi modal perusahaan
  • Alat untuk melakukan divestasi
Jenis Pasar Modal
Dalam menjalankan fungsi nya, pasar modal dibagi menjadi tiga maacam, yaitu pasar perdana, pasar sekunder, dan bursa parallel.
1.      
  1. Pasar perdana adalah penjualan perdana efek atau penjualan efek oleh perusahaan yang menerbitkan efek sebelum efek tersebut dijual melalui bursa efek. Pada pasar perdana, efek dijual dengan harga emisi, sehingga perusahaan yang menerbitkan emisi hanya memperoleh dana dari penjualan tersebut.
  2. Pasar Sekunder adalah penjualan efek setelah penjualan pada pasar perdana berakhir. Pada pasar sekunder ini harga efek ditentukan berdasarkan kurs efek tersebut. Naik turunnya kurs suatu efek ditentukan oleh daya tarik menarik antara permintaan dan penawaran efek tersebut. Bagi efek yang dapat memenuhi syarat listing dapat menjual efek nya di dalam bursa efek, sedangkan bagi efek yang tidak memenuhi syarat listing dapat menjual efek nya di luar bursa efek. 
  3. Bursa Parallel merupakan pelengkap bursa efek yang ada. Bagi perusahaan yang menerbitkan efek yang akan menjual efeknya melelaui bursa dapat dilakukan melalui bursa parallel. Tidak semua efek yang diterbitkan oleh perusahaan yang go public dapat menjual sahamnya di bursa efek. Ini di karenakan persyaratan untuk listing di bursa efek tersebut cukup berat dan sangat ketat. Bursa paralel merupakan alternative bagi perusahaan yang go public memperjualbelikan efeknya, jika ia tidak bisa memenuhi syarat  yang di tentukan pada bursa efek.

Perbedaan Pasar Perdana dan Pasar Sekunder : 
  • Pasar Perdana
·         Harga saham tetap
·         Tidak di kenakan Komisi
·         Hanya untuk pembeli saham
·         Pemesanan dilakukan melalui Agen Penjualan
·         Jangka waktu terbatas
  • Pasar Sekunder
·         Harga berfluktuasi sesuai kekuatan pasar
·         Dibebankan komisi untuk pembelian maupun penjualan
·         Pemesanan dilakukan melalui Anggota Bursa
·         Jangka waktu tidak terbatas
\

Syarat listing (pencatatan saham)

Perusahaan harus memenuhi syarat sebuah bursa saham agar saham mereka dapat dilist dan diperdagangkan di sana. Ini karena saham ini akan diperjualbelikan tanpa diperiksa keabsahannya, tanpa Due Diligence lagi. Bursa harus melakukan Due Diligence untuk publik. Contohnya, agar dapat dicatat dalam NYSE (Bursa Saham New York), sebuah perusahaan mesti telah menerbitkan setidaknya 1 juta saham seharga US$100 juta dan mesti telah mendapatkan lebih dari US$10 juta dalam tiga tahun terakhir.
 

s

S





thank you^^

Apa sesungguhnya fair value? selama ini, sistem akuntansi di Indonesia menggunakan konsep historical cost. Konsep ini menggunakan pendekatan biaya perolehan menghasilkan nilai buku. untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku itulah yang selama ini lazim dijadikan acuan untuk menilai sebuah perusahaan. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis, dan berkembang sangat cepat, akhirnya konsep historical cost dianggap tidak cocok lagi, karena tidak mencerminkan nilai pasar. Sebagai gantinya digunakan konsep Fair Value.
Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang bersikap secara perlahan menerapkan Fair Value measurement yang telah diatur dengan sangat kompleks, detail, rinci oleh GAAP, Indonesia begitu mengetahui pasar sedang bergejolak dan kondisi di dalam negeri juga belum siap benar, Indonesia lebih memilih menunda penerapan Fair Value. Indonesia akhirnya baru menerapkan fair value secara penuh pada 2012.
Masalah ketidaksiapan Indonesia juga diakui Jusuf Wibisana. Menurut mantan Ketua DSAK tersebut, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) memang belum pernah melakukan penelitian tentang kesiapan Indonesia dalam menerapkan fair value. Namun, diakui Jusuf, ada beberapa pihak atau bidang yang sudah siap, tapi banyak juga yang belum siap. Namun demikian, DSAK sudah menyusun beberapa standar yang semua mengacu pada IFRS/IAS, termasuka didalamnya konsep fair value. Diantaranya adalah PSAK no 30 tentang sewa beserta PSAK no 8. PSAK no 13 tentang Properti Investasi, PSAK no 16 tentang aset tetap dan PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan. DSAK juga menerbitkan buletin teknis sebagai panduan untuk melakukan perhitungan fair value pada standar-standar tersebut. Hampir seluruh Pronouncement the International Accounting Standard Board sudah menerapkan dasar fair value, Indonesia juga akan mengadopsinya.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) dalam beberapa peraturannya juga telah mengadopsi atau memasukkan konsep fair value, diantaranya IX.E.I tentang Transaksi afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, IX.E.2. tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, IX.G.I tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan publik/emiten, IX.L.I. tentang Tata cara Pelaksanaan Kuasi Reorganisasi dan IV.C.2. tentang Nilai Pasar wajar dari efek dalam portofolio reksadana. Menurut Kepala Bidang Akuntansi Keuangan dan Pemeriksaan Bapepam-LK Etty Retno Wulandari, mengatakan, untuk penerapan fair value di lingkungan pasar modal, Bapepam-LK akan selalu mengikuti dan meng-enforce semua standar yang dikeluarkan DSAK.
Pelaku dunia usaha sendiri, menurut Hamid, banyak yang belum siap dengan fair value. Mereka belum siap untuk terbuka dan transparan bagi pihak lain atau investor yang ingin melihat isi perusahaan mereka. “Masih ada yang seperti itu,” katanya. Disamping itu, Hamid menilai pemerintah atau regulator juga belum benar-benar siap paket-paket regulasi yang menjamin adanya keterbukaan informasi pasar.
Salah satu sektor yang juga dinilai belum siap menerapkan fair value adalah perbankan. Menurut Manajer Senior PT Batavia Properindo Sekuritas, Ricky Ichsan, perbankan merupakan sektor yang paling belum siap menerapkan fair value. karena itulah, PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan yang sedianya diberlakukan tahun ini diundur hingga 2010. Sebagai gantinya, Bank Indonesia (BI) memberlakukan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI). Dibanding sektor lain, penerapan fair value di mata Ricky tergolong paling rumit dan kompleks. Sebab tak semua instrumen keuangan atau aset bank diperdagangkan di pasar modal.
Namun penundaan PSAK 50 dan PSAK 55 itu, menurut Kepala Biro Penelitian dan Pengaturan Bank – BI, Narni Purwati, menguntungkan perbankan Indonesia. “Ini memberikan tambahan waktu bagi bank untuk melakukan penyesuaian di bidang sistem teknologi, proses bisnis, infrastruktur, dan persiapan SDM” kata Narni.
Sembari menunggu deadline 2012, semua pihak terkait, menurut Jusuf Wibisana, harus menyiapkan berbagai langkah penerapan fair value tersebut. Semua PSAK yang diterbitkan DSAK tersebut nantinya harus dijadikan pedoman dalam menyusun laporan keuangan berbasis fair value. Setelah 2012, perusahaan atau entitas yang menggunakan laporan keuangannnya masih tidak menggunakan fair value, oleh auditor akan diberi opini tidak bersih. Opini itu akan menurunkan tingkat kepercayaan publik. “Karena itu, baik regulator, pelaku usaha, maupun pihak-pihak terkait harus bersama-sama melakukan upaya-upaya serius agar penerapan fair value sesuai harapan,” katanya.
Meskipun secara penuh baru akan menerapkan IFRS di tahun 2012, dalam beberapa kasus atau entitas konsep fair value ini di Indonesia sudah diterapkan. Saham yang diperdagangkan di pasar modal, misalnya menurut Ricky Ichsan, dengan sendirinya penilaian sudah menggunakan fair value.
Hanya, menurut Etty Retno Wulandari, untuk penyusunan laproan keuangan bagi perusahaan publik atau emiten, konsep fair value baru diterapkan tahun 2009. Hasilnya seperti apa memang belum bisa diketahui, sebab laporan keuangan emiten berbasis fair value baru diterima Bapepam-LK bulan April 2009 ini. “Jadi belum bisa dikomentari hasilnya seperti apa’” katanya.
Di lingkungan Dana Pensiun, fair value juga sudah diterapkan. Hanya menurut Wakil Ketua Bidang Investasi Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Joni Rolindrawan, DSAK masih memberikan opsi, Pengelola dana pensiun boleh menggunakan hold to maturity, boleh juga mark to market atau fair value. “Hanya, penerapannya harus konsisten. Sekali pakai hold to maturity seterusnya harus begitu. Kalau pakai mark to market, juga harus seterusnys begitu. Tidak boleh ganti-ganti,” katanya.
Meskipun telah disepakati bahwa Indonesia akan menerapkan konsep fair value, namun banyak kalangan mengingatkan untung rugi atau risiko-risiko yang ditimbulkannya. Bagi Ricky, fair value akan menguntungkan pelaku pasar atau investor karena memang mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya. “Sebab informasi pasarnya terkini. Hanya, memang, kita akan kesulitan untuk menilai pasar yang tidak aktif. Dan untuk itu diperlukan penilaian model,” katanya.
Hal senada, diungkapkan Jusuf Wibisana. Dibanding historical cost, fair value memiliki tiga keunggulan, yaitu laporan keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan keputusan; meningkatkan keterbandingan laporan keuangan; dan informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan keuangan. Dengan demikian, potensi laba/rugi sebuah perusahaan jauh jauh hari sudah bisa diprediksikan.
Namun, Jusuf Wibisana juga masih memberikan catatan bagi penerapan fair value ini. sebagai contoh, untuk penentuan apakah suatu pasar itu aktif atau tidak aktif adalah persoalan krusial dan tidak mudah. Selain itu, pasar mungkin aktif untuk instrumen tertentu, dan tidak aktif untuk instrumen lainnya, dan ini juga tergolong hal yang sulit. Catatan lain lagi adalah, keberadaan willing sellers dan willing buyers kadang tidak cukup untuk menjustifikasi apakah suatu pasar terbilang aktif. “Dan, harga yang terbentuk dalam forced transaction, forced liquidation, atau distressed sales mungkin tidak mencerminkan nilai wajar yang sebenarnya,” katanya.
Secara umum, menurut Hamid Yusuf, penerapan fair value akan menguntungkan perekonomian Indonesia. Sebab, tanpa fair value, aset-aset perekonomian nasional, baik yang dimiliki swasta maupun pemerintah, selama ini dinilai terlalu rendah, jauh lebih rendah dari nilai sewajarnya. Ia mencontohkan set-aset perusahaan perkebunan yang hingga saat ini masih menggunakan nilai buku. Sebagai gambaran, sebelum 1997, kebun sawit seluas satu hektare, misalnya cukup dibangun dengan uang Rp 12 juta atau hanya Rp 6 juta sebelum tahun 1990-an. Setelah terjadi krisis moneter 1998/1998, ketika harga dolar AS sudah naik tiga kali, untuk hal yang sama dibutuhkan biaya sampai Rp 30 juta. Sehingga, orang baru membuka perusahaan perkebunan, nilai bukunya sudah diatas Rp 25 juta semua. Padahal, penghasilannya sama dengan kebun-kebun lama yang lebih murah biayanya. Tapi nilai buku kebun lama kecil. “Ini tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya.”katanya. 
Nah..   Historical Cost itu sendiri ...?
Dunia usaha pada umumnya selalu mendasarkan diri pada historical cost yaitu asumsi adanya stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain disadari pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi pada Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia.
Penggunaan historical cost dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa alasan:
1.    Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat keputusan masa depan diperlukan data transaksi masa lalu.
2.    Nilai historis yang berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan lebih sulit untuk memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti current cost ataupun replecement cost.
3.   Karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan historical cost memudahkan untuk melakukan perbandingan baik antara industri maupun antar waktu untuk suatu industri.
Kelemahan penggunaan nilai historis antara lain: 
1.   Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut.
2.   Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aktiva dan pasiva dalam valuta asing yang dikuasai perusahaan sehingga mengalami kesulitan dalam perhitungan selisih kurs yang tepat
3.    Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.
4.    Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur dengan perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung.
5.    Adanya stable monetary unit. Perusahaan tidak akan mempertahankan real capital-nya dan ada kecenderungan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak perseroan dan pembagian laba yang lebih besar daripada semestinya.
6.    Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama dijumlahkan menjadi satu.
7.    Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas dasar asumsi.
mengapa akuntan terus menggunakan historical cost ?
mengapa tidak menyesuaikan aset perusahaan dan kewajiban dengan nilai pasar, karena nilai tersebut akan lebih berguna bagi investor yang berusaha menaksir nilai perusahaan?
Alasan utama adalah estimasi handal atas nilai pasar dari hampir semua aset perusahaan secara umum sulit dan sering tidak mungkin diperoleh. Nilai pasar aset individual bergantung pada variabel-variabel seperti jumlah yang dibeli, kondisi pasar ketika dibeli, dan ketersediaan kutipan harga yang handal.
Beberapa aset, khususnya barang dalam proses untuk persediaan akan memiliki nilai pasar ketika barang tersebut terjual. Aset seperti tanah, gedung, dan peralatan sering tidak memiliki nilai pasar yang ditentukan secara efektif sampai aset tersebut dijual atau diganti.
»          Aset bertujuan khusus seperti tools dan program software komputer sering tidak memiliki nilai pasar tertentukan atau harga pengganti yang terukur.
»          Banyak aset yang tergantikan oleh adanya teknologi baru. Misalnya kabel telepon diganti dengan wireless fiber optic atau transmisi satelit.
»          Susah juga menilai aset tak berwujud seperti penelitian dan pengembangan (R&D), periklanan, pelatihan personel, merek dagang, dan goodwill, yang sering tidak dibeli dan dijual secara terpisah dari perusahaan yang mengembangkannya.
Yang pasti, kesulitan tersebut tidak menghalangi semua upaya profesi akuntansi untuk menciptakan realitas ekonomi yang lebih luas dalam laporan keuangan auditan. Tapi hasil dari usaha tersebut bersifat instruktif. Contohnya: SEC mewajibkan penggunaan kos pengganti aset tetap pada tahun 1976, perusahaan menyatakan bahwa penerapan tersebut biayanya besar (bahkan sia-sia) seperti yang disyaratkan dalam FAS 33 pada tahun 1978, sehingga lebih baik menggunakan penyajian dengan tingkat harga yang disesuaikan pada statemen tambahan (supplementary statement).
Sedangkan   Fair Value
Apa sebetulnya nilai wajar itu, dan untuk mengukur apa?
Nilai wajar didefinisikan dalam IFRS sebagai, “the amount for which an asset could be exchanged between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.” Nilai wajar ini digunakan untuk mengukur:
1.                  Satu aset
2.                  Sekelompok aset
3.                  Satu liabilitas
4.                  Sekelompok liabilitas
5.                  Konsiderasi bersih dari satu atau lebih aset dikurangi satu atau lebih liabilitas terkait
6.                  Satu segmen atau divisi dari sebuah entitas
7.                  Satu lokasi atau wilayah dari suatu entitas
8.                  Satu keseluruhan entitas
Yang dimaksud dengan pengukuran di atas bukan merupakan pengukuran awal. Untuk pengukuran awal (saat aset diakuisisi atau liabilitas muncul), entitas tetap menggunakan dasar harga pada saat terjadinya transaksi. Setelah pengukuran awal (biasa disebut sebagai pengukuran setelah pengukuran awal), yaitu saat pelaporan keuangan (dan untuk pelaporan seterusnya, selama aset masih dikuasai), entitas boleh memilih model harga (berdasar historical cost) atau model revaluasi (berdasar nilai wajar) untuk mengukur pos-pos laporan keuangannya.
Dari definisinya, dapat disimpulkan bahwa nilai wajar diukur menggunakan dasar ketika aset (atau liabilitas) dapat ditukar, bukan ketika aset (liabilitas) benar-benar ditukar. Cara mengukur ‘ketika aset (liabilitas) dapat ditukar’ adalah menggunakan:

1.    Pendekatan Pasar.
Dalam pendekatan ini, nilai wajar diukur berdasarkan harga pasar atau informasi relevan lain yang dihasilkan dari transaksi di pasar. Hal ini termasuk harga aset (liabilitas) sejenis yang ada di pasar, dan metode penilaian lain yang konsisten dengan pendekatan pasar. Urutan yang digunakan jika nilai wajar menggunakan pendekatan pasar adalah, pertama harga pasar aset (liabilitas) pada saat pelaporan, jika tidak terdapat harga pasar aset (liabilitas) maka menggunakan harga pasar aset (liabilitas) sejenis, jika tidak terdapat harga pasar aset (liabilitas) sejenis maka menggunakan model yang konsisten dengan pendekatan pasar (contohnya model matrix pricing, dll).

2.    Pendekatan Penghasilan.
Pendekatan ini menggunakan teknik penilaian untuk mengubah nilai masa depan (contohnya aliran kas atau laba) ke nilai kininya terdiskonto (discounted). Pengukuran nilai wajar dalam pendekatan ini menggunakan dasar nilai yang dilihat dari harapan pasar kini atas nilai aset (liabilitas) masa depan. Pendekatan ini termasuk menggunakan nilai kini (present value, option pricing)

3.    Pendekatan Cost.
Pendekatan cost disebut juga pendekatan cost pengganti kini (current replacement cost). Cost pengganti ini adalah jumlah yang diperlukan untuk menggantikan suatu aset.
Pendekatan nilai wajar seperti yang ditunjukkan di atas memiliki banyak celah untuk dilakukannya fraud. Pertama, jika nilai wajar didasarkan pada harga pasar, maka akan ada kemungkinan bahwa harga pasar suatu aset ada dalam kisaran tertentu. Misalnya, mobil kijang tahun 1998 pada saat pelaporan di tahun 2002 harganya belum tentu sama antara satu penjual dengan penjual lain. Mobil kijang ini pasti akan ada dalam kisaran harga. Oleh karena itu, penilai harus menentukan harga pasar yang mana yang akan diambil untuk disajikan. Dalam hal ini, fraud untuk meningkatkan nilai aset dapat terjadi. Namun kembali lagi bahwa kisaran harga yang akan diambil seharusnya cukup ‘wajar’. Kemungkinan fraud kedua adalah, jika tidak tersedia pasar, maka penilai akan menggunakan model yang konsisten dengan pendekatan pasar. Penggunaan model untuk menentukan nilai wajar ini merupakan celah untuk dilakukannya fraud. Kemungkinan fraud ketiga adalah, jika pengukuran nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan, maka akan ada celah dalam melakukan perhitungan nilai harapan pasar masa kini atas nilai masa depannya. Kemungkinan keempat adalah, penentuan estimasi harga pengganti. Estimasi merupakan suatu hal yang sangat sulit ditentukan kebenarannya. Entitas maupun penilai dapat melakukan justifikasi atas dasar estimasi yang dilakukan. Hal ini merupakan suatu celah untuk dilakukannya fraud.
Berbagai kemungkinan lain dapat terjadi dalam pengukuran nilai wajar. Hal ini dikarenakan nilai wajar tidak berdasarkan pada bukti historis, namun didasarkan pada seberapa bernilainya aset (liabilitas) pada saat pelaporan. Tidak adanya bukti historis ini (kecuali untuk pendekatan pasar yang observable), merupakan suatu celah untuk dilakukannya fraud. Entitas biasanya cenderung untuk meningkatkan nilai aset dan pendapatannya atau menurunkan nilai liabilitas dan biayanya. Oleh karena itu, penggunaan nilai wajar merupakan suatu tantangan baru bagi profesi jasa penilai dan auditor.
·           Perdebatan Mengenai Fair Value
Fair value ditetapkan oleh International Accounting Standard Board (IASB) sebagai dasar untuk mengukur aset. Dengan diperkenalkannya International Financial Reporting Standard (IFRS) di berbagai belahan dunia, penggunaan metode fair value secara benar menjadi sangat penting. Akan tetapi, jika kekuatan ekonomi terbesar di dunia (Amerika Serikat) tidak termasuk di dalamnya, maka tidak dapat benar-benar disebut seluruh dunia. Amerika Serikat tidak mengadopsi IFRS, akan tetapi mereka mempunyai standar akuntansi sendiri yang disusun oleh Financial Accounting Standard Board (FASB). FASB tidak mengakui fair value sebagai dasar untuk mengukur aset, mereka mencatat aset dengan dasar biaya historis (historical cost). Meskipun demikian, FASB dan IASB bekerja sama untuk berusaha mengharmonisasikan standar akuntansi masing-masing. Pertanyaan mengenai bagaimana aset seharusnya diakui di neraca merupakan salah satu isu penting yang harus dicari solusinya. Untuk itu baik IASB maupun FASB melakukan pengujian secara seksama terhadap fair value, tentang arti dari fair value dan bagaimana seharusnya diaplikasikan. Sementara itu FASB secara serentak melakukan investigasi sendiri terhadap fair value dan telah menerbitkan sebuah exposure draft.
Seiring perkembangan zaman, ternyata penggunaan historical cost tidak lagi relevan karena kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan telah terhambat oleh tantangan yang serius. Dan banyak orang yang berpendapat dan yakin bahwa standard akuntansi yang menggunakan historical cost memainkan peranan penting sebagai penyebab kerusakan perekonomian, terutama lembaga simpan pinjam tahun 1980an dan masalah perbankan 1990an. Karena pada waktu itu banyak laporan keuangan yang tidak mengungkapkan kerugian segera pada saat terjadi. Sehingga terdapat kesepakatan bahwa standard akuntansi yang ada perlu diperbaiki untuk memastikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, relevan, dan terpercaya. Dan dibuatlah laporan keuangan berbasis Fair Value.
Ada banyak diskusi dalam beberapa waktu terakhir mengenai peran akuntansi dalam penurunan ekonomi baru-baru ini. Sejak krisis keuangan dimulai, dan perdebatan tentang akuntansi nilai wajar semakin intensif. Bank-bank dan pihak-pihak lain berpendapat bahwa akuntansi nilai wajar bertanggung jawab atas kelemahan dan ketidakstabilan yang mereka alami, sedangkan akuntan dan pengacara investor berpendapat bahwa kebenaran (fakta tentang aset milik bank-bank) adalah apa yang akhirnya menyebabkan masalah mereka.
Pada tahun 1938, Presiden Franklin D. Roosevelt menghapuskan akuntansi MTM; Milton Friedman menuduh akuntansi MTM sebagai sumber utama yang menyebabkan melemahnya modal yang menyebabkan bank-bank dilikuidasi dalam “Great Depression” (Berry 2008). Pertanyaan berikutnya adalah apakah fair value memainkan peran dalam krisis keuangan baru-baru ini?
Untuk memahami implikasi dari fair value, kita harus mulai dengan pentingnya akuntansi terhadap sistem ekonomi kita. Pusat kapitalisme adalah identifikasi harga dan perhitungan laba rugi. Penilaian paling penting yang dibuat oleh manajer adalah apakah keputusan mereka menghasilkan keuntungan (laba) atau kerugian. Apalagi investor, kreditor, dan partner bisnis menggunakan data akuntansi untuk membuat keputusan untuk alokasi investasi, memperpanjang kredit, dan mengevaluasi kerja sama.
Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat perubahan yang terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang dicatat. Hal ini membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat manajemen atau oleh perubahan yang terjadi di pasar.
Masalah lain muncul saat akan mengubah nilai aset berdasarkan harga pasar. Siapa yang menentukan harga pasar? Ini mungkin pertanyaan yang mendasar, misalnya bagaimana menentukan harga pasar dari hutang obligasi yang dijamin.
Kubu yang menentang akuntansi berdasarkan nilai pasar menggunakan argumentasi bahwa market value accounting kurang dapat dipercaya dan menjadi halangan utama dalam penerapannya dan kukuh menganggap model historical cost lebih unggul sebab lebih dapat dipercayai (tingkat reliabilitas-nya lebih tinggi). Mereka ngotot bahwa subjectivity estimasi nilai wajar aktiva (fair value asset) dan liabilities tanpa pasar yang likuid membuat laporan keuangan menjadi tidak dapat dipercaya. Tetapi ada juga sebagian orang beranggapan bahwa subjectivity selalu menjadi bagian dari akuntansi dan masalah pengukuran dalam melaporkan informasi keuangannya berdasarkan nilai pasar berhasil diterapkan perusahaan, juga ketika penggabungan usaha dengan metode pembelian. Kemungkinan terbaik estimasi konsep relevan adalah bahwa penggunaan estimasi lebih baik ketimbang menggunakan ukuran yang tidak relevan. Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis,;dan cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut. Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan memperburuk kompromi.
Akan tetapi, hal yang cukup menarik adalah bahwa angka-angka yang dilaporkan dengan sistem akuntansi berdasarkan nilai pasar mempunyai korelasi sangat kuat dengan harga saham, dan memberi petunjuk bahwa nilai berdasarkan pasar lebih baik (lebih terpercaya) dari pada nilai berdasarkan historical cost seperti di AS. Akan tetapi, meskipun mempunyai keunggulan, sistem market value accounting berpotensi rentan terhadap manipulasi dan kesalahan estimasi, tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa angka-angka nilai berdasarkan pasar dikelola untuk menghindari peraturan yang membatasi permodalan. Dapat disimpulkan bahwa, pada akhirnya, penggunaan market value accounting akan memberikan dukungan berharga kepada lembaga-lembaga keuangan.

·           Kebaikan Menggunakan Fair Value
a)                  Relevance.
Banyak orang percaya bahwa standard akuntansi historical cost telah banyak kehilangan relevansinya karena kegagalannya mengukur realitas ekonomi. Hampir semua orang setuju bahwa peristiwa ekonomi yaitu, kejadian yang mengubah waktu kapan arus kas diterima dan jumlahnya yang akan datang – harus tercermin (terungkap) dalam laporan keuangan lembaga. Akan tetapi, seringkali model historical cost hanya mengukur transaksi sudah selesai dan gagal mengakui adanya perubahan nilai riil lain yang dapat terjadi.
b)                  Reliability.
Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis, dan cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut. Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan memperburuk kompromi kenetralan dan dipercayainya informasi keuangan.

·           Keburukan Menggunakan Fair Value
a)                  Fair value berusaha menyediakan informasi yang transparan dengan menilai aset pada tingkat harga yang dihasilkan jika segera dilikuidasi-sehingga sangat sensitif terhadap pasar.
b)                  Akuntansi fair value bekerja melalui akuntansi mark-to-market (MTM),
Yaitu aset dicantumkan pada harga pasar mereka jika diperdagangkan secara terbuka. Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat perubahan yang terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang dicatat. Hal ini membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat manajemen atau oleh perubahan yang terjadi di pasar.
c)                  Volatility.
Lembaga keuangan mengatakan bahwa mereka takut akuntansi berdasarkan pasar akan menyebabkan volatility kinerja lembaga (karena semakin mudahnya nilai item-item aktiva dan pasiva berfluktuasi). Walaupun sebenarnya lembaga keuangan yang senantiasa mengelola bahaya yang mengancam asset dan liability hanya sedikit takut dengan market value accounting. Laporan keuangan lembaga keuangan yang kurang efektif dalam mengelola risiko akan tercermin pada volatility yang selalu ada dalam setiap usahanya. Para investor dan kreditur akan memiliki informasi yang lebih berguna dan relevan dalam membedakan risiko antar perusahaan, ketika mengambil keputusan investasi dan keputusan pemberian kredit (jika menggunakan MVA).
Berdasarkan FASB Concept Statement No. 7 dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (FASB 2000). Terdapat tiga hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu dengan menggunakan nilai pasar, komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat diperbandingkan dengan item yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi (Hitz 2007).
Meskipun fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value, namun tidak berarti fair value itu sepenuhnya adalah current market value. Untuk item-item tertentu di dalam laporan keuangan yang berasal dari transaksi yang lazim terjadi (arm’s length transaction) dan harga-harganya juga dapat dengan mudah diukur dengan harga pasar, fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value. Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark to market. Namun untuk item-item yang harga pasarnya tidak tersedia, fair value diukur dengan menggunakan model penilaian yang didasarkan atas perhitungan-perhitungan dan estimasi tertentu. Pengukuranfair value seperti ini disebut juga dengan mark to model. Dengan demikian penggunaan fair value sesungguhnya dapat menimbulkan implikasi yang bersifat subyektif terutama yang berkaitan dengan penilaian (Blommaert dalam Verhog 2003).
(Gassen & Schwedler 2009) menemukan bahwa terdapat pemahaman yang berbeda-beda mengenai fair value. Fair value yang didasarkan atas harga pasar (mark to market) lebih bernilai dan memiliki decision usefulness lebih tinggi dibandingkan dengan fair value yang didasarkan atas penilaian (mark to model). (Gassen & Schwedler 2009) juga menemukan bahwa fair value yang berdasarkan pada harga pasar memiliki decision usefulness yang tinggi untuk aset-aset lancar dan non operasional, dan untuk aset tidak lancar serta aset-aset yang digunakan untuk kegiatan operasional, tidak ada perbedaan yang siginifikan dari sisi decision usefulness baik yang menggunakan historical cost maupun menggunakan market based fair value. Pendekatan dalam perhitungan fair value dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pendekatan pasar, pendekatan pendapatan dan pendekatan biaya (SFAS 157) Masing-masing pendekatan ini jika ditelusuri lebih lanjut memiliki resiko untuk menimbulkan terjadinya fraud dalam laporan keuangan, dan ini akan menjadi suatu diskusi yang sangat menarik mengenai penerapan fair value dan hubungannya dengan tindakan fraud dan resiko global.
Pengukuran dengan menggunakan atribut fair value memerlukan perhatian yang serius dari penyusun standar akuntansi, terutama dalam menciptakan konvergensi antara dua kerangka konseptual dan standar akuntansi yang saat ini banyak menjadi acuan yaitu yang dikeluarkan oleh FASB dan IASB. Hal ini diperlukan untuk mengatasi kendala-kendala penerapan fair value agar menjadi lebih andal (reliable), dapat diaudit (auditable), dan dapat diverifikasi (verifiable). Penerapan fair value tidak dapat dihindari dalam perkembangan akuntansi saat ini, yang harus dilakukan adalah menyediakan instrumen agar konsep fair value dapat lebih diperkuat dan dapat diukur secara lebih reliabel.
Pernyataan yang jelas dalam kerangka konseptual juga diperlukan terutama rekomendasi penggunaan fair value untuk item-item tertentu, seperti aset-aset atau kewajiban yang digunakan untuk meraih keuntungan jangka pendek (short-term trading profit). Pengungkapan (disclosure) mengenai penggunaan fair value juga perlu diatur secara lebih ketat untuk menghindari bias dan penyalahgunaan manajemen dalam melakukan estimasi, khususnya untuk item-item yang diukur dengan fair value namun current market value-nya tidak tersedia.
Sedikit tentang IFRS dan SAK ^0^
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada hari ini Selasa, 23 Desember 2008 dalam rangka Ulang tahunnya ke-51 mendeklarasikan rencana Indonesia untuk convergence terhadap International Financial Reporting Standards (IFRS) dalam pengaturan standar akuntansi keuangan. Pengaturan perlakuan akuntansi yang konvergen dengan IFRS akan diterapkan untuk penyusunan laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2012. Hal ini diputuskan setelah melalui pengkajian dan penelaahan yang mendalam dengan mempertimbangkan seluruh risiko dan manfaat konvergensi terhadap IFRS.
Compliance terhadap IFRS telah dilakukan oleh ratusan Negara di dunia diantaranya adalah Korea, India dan Canada yang akan melakukan konvergensi terhadap IFRS pada tahun 2011.  Data dari International Accounting Standard Board (IASB) menunjukkan  saat ini terdapat 102 negara yang telah menerapkan IFRS dengan berbagai tingkat keharusan yang berbeda-beda. Sebanyak 23 negara mengizinkan penggunaan IFRS secara sukarela, 75 negara mewajibkan penggunaan IFRS untuk seluruh perusahaan domestik, dan empat Negara mewajibkan penggunaan IFRS untuk perusahaan domestik tertentu.

Compliance
terhadap IFRS memberikan manfaat terhadap keterbandingan laporan keuangan dan peningkatan transparansi. Melalui compliance maka laporan keuangan perusahaan Indonesia akan dapat diperbandingkan dengan laporan keuangan perusahaan dari negara lain, sehingga akan sangat jelas kinerja perusahaan mana yang lebih baik. Selain itu, program konvergensi juga bermanfaat untuk mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan investasi global, dan mengurangi beban penysusunan laporan keuangan.
International Financial Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi utama pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia karena IFRS merupakan standar yang sangat kokoh. Penyusunannya didukung oleh para ahli dan dewan konsultatif internasional dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyediakan waktu cukup dan  didukung dengan masukan literatur dari ratusan orang dari berbagai displin ilmu dan dari berbagai macam jurisdiksi di seluruh dunia.
Dengan telah dideklarasikannya program konvergensi terhadap IFRS ini, maka pada tahun 2012 seluruh standar yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan  IAI akan mengacu kepada IFRS dan diterapkan oleh entitas. Dewan standar akuntansi keuangan pada kesempatan ini juga akan menerbitkan Eksposur draft Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil dan Menengah.  Standar UKM ini akan menjadi acuan bagi usaha kecil dan menenggah dalam mencatat dan membukukan semua transaksinya. DSAK juga akan terus mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan pencatatan dan pelaporan keuangan transaksi syariah, yang terus berkembang di tanah air.Konvergensi terhadap IFRS merupakan milestone baru dari serangkaian milestone yang pernah dicapai oleh Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia dalam sejarah perkembangan profesi akuntansi, khususnya dalam pengembangan standar akuntansi keuangan. 

Sederetan milestone sebelumnya yang terkait dengan hal tersebut dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah yang pernah diacapai sebelumnya dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI)”. Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha. Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan mengkondifikasikannya dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994”. Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dengan deklarasi, yang dilakukan sedini mungkin, ini kami berharap entitas memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam mengantisipasi tahap demi tahap proses konvergensi yang dilakukan oleh IAI.
Pada HUT Ikatan Akuntan Indonesia yang ke 51 ini berkenan hadir Menteri Pendidikan Nasional RI, Prof. Dr. Bambang Soedibyo, Ketua BAPEPAM & LK, Dr. A. Fuad Rachmany dan Deputi Gubernur Bank Indonesia Ardhayadi Mitroatmodjo. Selain beliau berdua, akan hadir pula para pengurus dan sesepuh Ikatan Akuntan Indonesia.
Pada kesempatan ini IAI juga memberikan penghargaan Achievement Award 2008 kepada tokoh-tokoh yang memberi kontribusi kepada pengembangan profesi akuntan yaitu kepada Prof. HS. Hadibroto, Prof. Dr. Djoko Susanto serta Drs. Hans Kartikahadi.



thank you^^

;;

Template by:
Free Blog Templates