INDONESIAN younger POPULARITY

Tuesday, April 10, 2012

Apa sesungguhnya fair value? selama ini, sistem akuntansi di Indonesia menggunakan konsep historical cost. Konsep ini menggunakan pendekatan biaya perolehan menghasilkan nilai buku. untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku itulah yang selama ini lazim dijadikan acuan untuk menilai sebuah perusahaan. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis, dan berkembang sangat cepat, akhirnya konsep historical cost dianggap tidak cocok lagi, karena tidak mencerminkan nilai pasar. Sebagai gantinya digunakan konsep Fair Value.
Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang bersikap secara perlahan menerapkan Fair Value measurement yang telah diatur dengan sangat kompleks, detail, rinci oleh GAAP, Indonesia begitu mengetahui pasar sedang bergejolak dan kondisi di dalam negeri juga belum siap benar, Indonesia lebih memilih menunda penerapan Fair Value. Indonesia akhirnya baru menerapkan fair value secara penuh pada 2012.
Masalah ketidaksiapan Indonesia juga diakui Jusuf Wibisana. Menurut mantan Ketua DSAK tersebut, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) memang belum pernah melakukan penelitian tentang kesiapan Indonesia dalam menerapkan fair value. Namun, diakui Jusuf, ada beberapa pihak atau bidang yang sudah siap, tapi banyak juga yang belum siap. Namun demikian, DSAK sudah menyusun beberapa standar yang semua mengacu pada IFRS/IAS, termasuka didalamnya konsep fair value. Diantaranya adalah PSAK no 30 tentang sewa beserta PSAK no 8. PSAK no 13 tentang Properti Investasi, PSAK no 16 tentang aset tetap dan PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan. DSAK juga menerbitkan buletin teknis sebagai panduan untuk melakukan perhitungan fair value pada standar-standar tersebut. Hampir seluruh Pronouncement the International Accounting Standard Board sudah menerapkan dasar fair value, Indonesia juga akan mengadopsinya.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) dalam beberapa peraturannya juga telah mengadopsi atau memasukkan konsep fair value, diantaranya IX.E.I tentang Transaksi afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, IX.E.2. tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, IX.G.I tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan publik/emiten, IX.L.I. tentang Tata cara Pelaksanaan Kuasi Reorganisasi dan IV.C.2. tentang Nilai Pasar wajar dari efek dalam portofolio reksadana. Menurut Kepala Bidang Akuntansi Keuangan dan Pemeriksaan Bapepam-LK Etty Retno Wulandari, mengatakan, untuk penerapan fair value di lingkungan pasar modal, Bapepam-LK akan selalu mengikuti dan meng-enforce semua standar yang dikeluarkan DSAK.
Pelaku dunia usaha sendiri, menurut Hamid, banyak yang belum siap dengan fair value. Mereka belum siap untuk terbuka dan transparan bagi pihak lain atau investor yang ingin melihat isi perusahaan mereka. “Masih ada yang seperti itu,” katanya. Disamping itu, Hamid menilai pemerintah atau regulator juga belum benar-benar siap paket-paket regulasi yang menjamin adanya keterbukaan informasi pasar.
Salah satu sektor yang juga dinilai belum siap menerapkan fair value adalah perbankan. Menurut Manajer Senior PT Batavia Properindo Sekuritas, Ricky Ichsan, perbankan merupakan sektor yang paling belum siap menerapkan fair value. karena itulah, PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan yang sedianya diberlakukan tahun ini diundur hingga 2010. Sebagai gantinya, Bank Indonesia (BI) memberlakukan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI). Dibanding sektor lain, penerapan fair value di mata Ricky tergolong paling rumit dan kompleks. Sebab tak semua instrumen keuangan atau aset bank diperdagangkan di pasar modal.
Namun penundaan PSAK 50 dan PSAK 55 itu, menurut Kepala Biro Penelitian dan Pengaturan Bank – BI, Narni Purwati, menguntungkan perbankan Indonesia. “Ini memberikan tambahan waktu bagi bank untuk melakukan penyesuaian di bidang sistem teknologi, proses bisnis, infrastruktur, dan persiapan SDM” kata Narni.
Sembari menunggu deadline 2012, semua pihak terkait, menurut Jusuf Wibisana, harus menyiapkan berbagai langkah penerapan fair value tersebut. Semua PSAK yang diterbitkan DSAK tersebut nantinya harus dijadikan pedoman dalam menyusun laporan keuangan berbasis fair value. Setelah 2012, perusahaan atau entitas yang menggunakan laporan keuangannnya masih tidak menggunakan fair value, oleh auditor akan diberi opini tidak bersih. Opini itu akan menurunkan tingkat kepercayaan publik. “Karena itu, baik regulator, pelaku usaha, maupun pihak-pihak terkait harus bersama-sama melakukan upaya-upaya serius agar penerapan fair value sesuai harapan,” katanya.
Meskipun secara penuh baru akan menerapkan IFRS di tahun 2012, dalam beberapa kasus atau entitas konsep fair value ini di Indonesia sudah diterapkan. Saham yang diperdagangkan di pasar modal, misalnya menurut Ricky Ichsan, dengan sendirinya penilaian sudah menggunakan fair value.
Hanya, menurut Etty Retno Wulandari, untuk penyusunan laproan keuangan bagi perusahaan publik atau emiten, konsep fair value baru diterapkan tahun 2009. Hasilnya seperti apa memang belum bisa diketahui, sebab laporan keuangan emiten berbasis fair value baru diterima Bapepam-LK bulan April 2009 ini. “Jadi belum bisa dikomentari hasilnya seperti apa’” katanya.
Di lingkungan Dana Pensiun, fair value juga sudah diterapkan. Hanya menurut Wakil Ketua Bidang Investasi Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Joni Rolindrawan, DSAK masih memberikan opsi, Pengelola dana pensiun boleh menggunakan hold to maturity, boleh juga mark to market atau fair value. “Hanya, penerapannya harus konsisten. Sekali pakai hold to maturity seterusnya harus begitu. Kalau pakai mark to market, juga harus seterusnys begitu. Tidak boleh ganti-ganti,” katanya.
Meskipun telah disepakati bahwa Indonesia akan menerapkan konsep fair value, namun banyak kalangan mengingatkan untung rugi atau risiko-risiko yang ditimbulkannya. Bagi Ricky, fair value akan menguntungkan pelaku pasar atau investor karena memang mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya. “Sebab informasi pasarnya terkini. Hanya, memang, kita akan kesulitan untuk menilai pasar yang tidak aktif. Dan untuk itu diperlukan penilaian model,” katanya.
Hal senada, diungkapkan Jusuf Wibisana. Dibanding historical cost, fair value memiliki tiga keunggulan, yaitu laporan keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan keputusan; meningkatkan keterbandingan laporan keuangan; dan informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan keuangan. Dengan demikian, potensi laba/rugi sebuah perusahaan jauh jauh hari sudah bisa diprediksikan.
Namun, Jusuf Wibisana juga masih memberikan catatan bagi penerapan fair value ini. sebagai contoh, untuk penentuan apakah suatu pasar itu aktif atau tidak aktif adalah persoalan krusial dan tidak mudah. Selain itu, pasar mungkin aktif untuk instrumen tertentu, dan tidak aktif untuk instrumen lainnya, dan ini juga tergolong hal yang sulit. Catatan lain lagi adalah, keberadaan willing sellers dan willing buyers kadang tidak cukup untuk menjustifikasi apakah suatu pasar terbilang aktif. “Dan, harga yang terbentuk dalam forced transaction, forced liquidation, atau distressed sales mungkin tidak mencerminkan nilai wajar yang sebenarnya,” katanya.
Secara umum, menurut Hamid Yusuf, penerapan fair value akan menguntungkan perekonomian Indonesia. Sebab, tanpa fair value, aset-aset perekonomian nasional, baik yang dimiliki swasta maupun pemerintah, selama ini dinilai terlalu rendah, jauh lebih rendah dari nilai sewajarnya. Ia mencontohkan set-aset perusahaan perkebunan yang hingga saat ini masih menggunakan nilai buku. Sebagai gambaran, sebelum 1997, kebun sawit seluas satu hektare, misalnya cukup dibangun dengan uang Rp 12 juta atau hanya Rp 6 juta sebelum tahun 1990-an. Setelah terjadi krisis moneter 1998/1998, ketika harga dolar AS sudah naik tiga kali, untuk hal yang sama dibutuhkan biaya sampai Rp 30 juta. Sehingga, orang baru membuka perusahaan perkebunan, nilai bukunya sudah diatas Rp 25 juta semua. Padahal, penghasilannya sama dengan kebun-kebun lama yang lebih murah biayanya. Tapi nilai buku kebun lama kecil. “Ini tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya.”katanya. 
Nah..   Historical Cost itu sendiri ...?
Dunia usaha pada umumnya selalu mendasarkan diri pada historical cost yaitu asumsi adanya stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain disadari pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi pada Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia.
Penggunaan historical cost dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa alasan:
1.    Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat keputusan masa depan diperlukan data transaksi masa lalu.
2.    Nilai historis yang berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan lebih sulit untuk memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti current cost ataupun replecement cost.
3.   Karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan historical cost memudahkan untuk melakukan perbandingan baik antara industri maupun antar waktu untuk suatu industri.
Kelemahan penggunaan nilai historis antara lain: 
1.   Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut.
2.   Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aktiva dan pasiva dalam valuta asing yang dikuasai perusahaan sehingga mengalami kesulitan dalam perhitungan selisih kurs yang tepat
3.    Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.
4.    Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur dengan perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung.
5.    Adanya stable monetary unit. Perusahaan tidak akan mempertahankan real capital-nya dan ada kecenderungan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak perseroan dan pembagian laba yang lebih besar daripada semestinya.
6.    Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama dijumlahkan menjadi satu.
7.    Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas dasar asumsi.
mengapa akuntan terus menggunakan historical cost ?
mengapa tidak menyesuaikan aset perusahaan dan kewajiban dengan nilai pasar, karena nilai tersebut akan lebih berguna bagi investor yang berusaha menaksir nilai perusahaan?
Alasan utama adalah estimasi handal atas nilai pasar dari hampir semua aset perusahaan secara umum sulit dan sering tidak mungkin diperoleh. Nilai pasar aset individual bergantung pada variabel-variabel seperti jumlah yang dibeli, kondisi pasar ketika dibeli, dan ketersediaan kutipan harga yang handal.
Beberapa aset, khususnya barang dalam proses untuk persediaan akan memiliki nilai pasar ketika barang tersebut terjual. Aset seperti tanah, gedung, dan peralatan sering tidak memiliki nilai pasar yang ditentukan secara efektif sampai aset tersebut dijual atau diganti.
»          Aset bertujuan khusus seperti tools dan program software komputer sering tidak memiliki nilai pasar tertentukan atau harga pengganti yang terukur.
»          Banyak aset yang tergantikan oleh adanya teknologi baru. Misalnya kabel telepon diganti dengan wireless fiber optic atau transmisi satelit.
»          Susah juga menilai aset tak berwujud seperti penelitian dan pengembangan (R&D), periklanan, pelatihan personel, merek dagang, dan goodwill, yang sering tidak dibeli dan dijual secara terpisah dari perusahaan yang mengembangkannya.
Yang pasti, kesulitan tersebut tidak menghalangi semua upaya profesi akuntansi untuk menciptakan realitas ekonomi yang lebih luas dalam laporan keuangan auditan. Tapi hasil dari usaha tersebut bersifat instruktif. Contohnya: SEC mewajibkan penggunaan kos pengganti aset tetap pada tahun 1976, perusahaan menyatakan bahwa penerapan tersebut biayanya besar (bahkan sia-sia) seperti yang disyaratkan dalam FAS 33 pada tahun 1978, sehingga lebih baik menggunakan penyajian dengan tingkat harga yang disesuaikan pada statemen tambahan (supplementary statement).
Sedangkan   Fair Value
Apa sebetulnya nilai wajar itu, dan untuk mengukur apa?
Nilai wajar didefinisikan dalam IFRS sebagai, “the amount for which an asset could be exchanged between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.” Nilai wajar ini digunakan untuk mengukur:
1.                  Satu aset
2.                  Sekelompok aset
3.                  Satu liabilitas
4.                  Sekelompok liabilitas
5.                  Konsiderasi bersih dari satu atau lebih aset dikurangi satu atau lebih liabilitas terkait
6.                  Satu segmen atau divisi dari sebuah entitas
7.                  Satu lokasi atau wilayah dari suatu entitas
8.                  Satu keseluruhan entitas
Yang dimaksud dengan pengukuran di atas bukan merupakan pengukuran awal. Untuk pengukuran awal (saat aset diakuisisi atau liabilitas muncul), entitas tetap menggunakan dasar harga pada saat terjadinya transaksi. Setelah pengukuran awal (biasa disebut sebagai pengukuran setelah pengukuran awal), yaitu saat pelaporan keuangan (dan untuk pelaporan seterusnya, selama aset masih dikuasai), entitas boleh memilih model harga (berdasar historical cost) atau model revaluasi (berdasar nilai wajar) untuk mengukur pos-pos laporan keuangannya.
Dari definisinya, dapat disimpulkan bahwa nilai wajar diukur menggunakan dasar ketika aset (atau liabilitas) dapat ditukar, bukan ketika aset (liabilitas) benar-benar ditukar. Cara mengukur ‘ketika aset (liabilitas) dapat ditukar’ adalah menggunakan:

1.    Pendekatan Pasar.
Dalam pendekatan ini, nilai wajar diukur berdasarkan harga pasar atau informasi relevan lain yang dihasilkan dari transaksi di pasar. Hal ini termasuk harga aset (liabilitas) sejenis yang ada di pasar, dan metode penilaian lain yang konsisten dengan pendekatan pasar. Urutan yang digunakan jika nilai wajar menggunakan pendekatan pasar adalah, pertama harga pasar aset (liabilitas) pada saat pelaporan, jika tidak terdapat harga pasar aset (liabilitas) maka menggunakan harga pasar aset (liabilitas) sejenis, jika tidak terdapat harga pasar aset (liabilitas) sejenis maka menggunakan model yang konsisten dengan pendekatan pasar (contohnya model matrix pricing, dll).

2.    Pendekatan Penghasilan.
Pendekatan ini menggunakan teknik penilaian untuk mengubah nilai masa depan (contohnya aliran kas atau laba) ke nilai kininya terdiskonto (discounted). Pengukuran nilai wajar dalam pendekatan ini menggunakan dasar nilai yang dilihat dari harapan pasar kini atas nilai aset (liabilitas) masa depan. Pendekatan ini termasuk menggunakan nilai kini (present value, option pricing)

3.    Pendekatan Cost.
Pendekatan cost disebut juga pendekatan cost pengganti kini (current replacement cost). Cost pengganti ini adalah jumlah yang diperlukan untuk menggantikan suatu aset.
Pendekatan nilai wajar seperti yang ditunjukkan di atas memiliki banyak celah untuk dilakukannya fraud. Pertama, jika nilai wajar didasarkan pada harga pasar, maka akan ada kemungkinan bahwa harga pasar suatu aset ada dalam kisaran tertentu. Misalnya, mobil kijang tahun 1998 pada saat pelaporan di tahun 2002 harganya belum tentu sama antara satu penjual dengan penjual lain. Mobil kijang ini pasti akan ada dalam kisaran harga. Oleh karena itu, penilai harus menentukan harga pasar yang mana yang akan diambil untuk disajikan. Dalam hal ini, fraud untuk meningkatkan nilai aset dapat terjadi. Namun kembali lagi bahwa kisaran harga yang akan diambil seharusnya cukup ‘wajar’. Kemungkinan fraud kedua adalah, jika tidak tersedia pasar, maka penilai akan menggunakan model yang konsisten dengan pendekatan pasar. Penggunaan model untuk menentukan nilai wajar ini merupakan celah untuk dilakukannya fraud. Kemungkinan fraud ketiga adalah, jika pengukuran nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan, maka akan ada celah dalam melakukan perhitungan nilai harapan pasar masa kini atas nilai masa depannya. Kemungkinan keempat adalah, penentuan estimasi harga pengganti. Estimasi merupakan suatu hal yang sangat sulit ditentukan kebenarannya. Entitas maupun penilai dapat melakukan justifikasi atas dasar estimasi yang dilakukan. Hal ini merupakan suatu celah untuk dilakukannya fraud.
Berbagai kemungkinan lain dapat terjadi dalam pengukuran nilai wajar. Hal ini dikarenakan nilai wajar tidak berdasarkan pada bukti historis, namun didasarkan pada seberapa bernilainya aset (liabilitas) pada saat pelaporan. Tidak adanya bukti historis ini (kecuali untuk pendekatan pasar yang observable), merupakan suatu celah untuk dilakukannya fraud. Entitas biasanya cenderung untuk meningkatkan nilai aset dan pendapatannya atau menurunkan nilai liabilitas dan biayanya. Oleh karena itu, penggunaan nilai wajar merupakan suatu tantangan baru bagi profesi jasa penilai dan auditor.
·           Perdebatan Mengenai Fair Value
Fair value ditetapkan oleh International Accounting Standard Board (IASB) sebagai dasar untuk mengukur aset. Dengan diperkenalkannya International Financial Reporting Standard (IFRS) di berbagai belahan dunia, penggunaan metode fair value secara benar menjadi sangat penting. Akan tetapi, jika kekuatan ekonomi terbesar di dunia (Amerika Serikat) tidak termasuk di dalamnya, maka tidak dapat benar-benar disebut seluruh dunia. Amerika Serikat tidak mengadopsi IFRS, akan tetapi mereka mempunyai standar akuntansi sendiri yang disusun oleh Financial Accounting Standard Board (FASB). FASB tidak mengakui fair value sebagai dasar untuk mengukur aset, mereka mencatat aset dengan dasar biaya historis (historical cost). Meskipun demikian, FASB dan IASB bekerja sama untuk berusaha mengharmonisasikan standar akuntansi masing-masing. Pertanyaan mengenai bagaimana aset seharusnya diakui di neraca merupakan salah satu isu penting yang harus dicari solusinya. Untuk itu baik IASB maupun FASB melakukan pengujian secara seksama terhadap fair value, tentang arti dari fair value dan bagaimana seharusnya diaplikasikan. Sementara itu FASB secara serentak melakukan investigasi sendiri terhadap fair value dan telah menerbitkan sebuah exposure draft.
Seiring perkembangan zaman, ternyata penggunaan historical cost tidak lagi relevan karena kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan telah terhambat oleh tantangan yang serius. Dan banyak orang yang berpendapat dan yakin bahwa standard akuntansi yang menggunakan historical cost memainkan peranan penting sebagai penyebab kerusakan perekonomian, terutama lembaga simpan pinjam tahun 1980an dan masalah perbankan 1990an. Karena pada waktu itu banyak laporan keuangan yang tidak mengungkapkan kerugian segera pada saat terjadi. Sehingga terdapat kesepakatan bahwa standard akuntansi yang ada perlu diperbaiki untuk memastikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, relevan, dan terpercaya. Dan dibuatlah laporan keuangan berbasis Fair Value.
Ada banyak diskusi dalam beberapa waktu terakhir mengenai peran akuntansi dalam penurunan ekonomi baru-baru ini. Sejak krisis keuangan dimulai, dan perdebatan tentang akuntansi nilai wajar semakin intensif. Bank-bank dan pihak-pihak lain berpendapat bahwa akuntansi nilai wajar bertanggung jawab atas kelemahan dan ketidakstabilan yang mereka alami, sedangkan akuntan dan pengacara investor berpendapat bahwa kebenaran (fakta tentang aset milik bank-bank) adalah apa yang akhirnya menyebabkan masalah mereka.
Pada tahun 1938, Presiden Franklin D. Roosevelt menghapuskan akuntansi MTM; Milton Friedman menuduh akuntansi MTM sebagai sumber utama yang menyebabkan melemahnya modal yang menyebabkan bank-bank dilikuidasi dalam “Great Depression” (Berry 2008). Pertanyaan berikutnya adalah apakah fair value memainkan peran dalam krisis keuangan baru-baru ini?
Untuk memahami implikasi dari fair value, kita harus mulai dengan pentingnya akuntansi terhadap sistem ekonomi kita. Pusat kapitalisme adalah identifikasi harga dan perhitungan laba rugi. Penilaian paling penting yang dibuat oleh manajer adalah apakah keputusan mereka menghasilkan keuntungan (laba) atau kerugian. Apalagi investor, kreditor, dan partner bisnis menggunakan data akuntansi untuk membuat keputusan untuk alokasi investasi, memperpanjang kredit, dan mengevaluasi kerja sama.
Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat perubahan yang terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang dicatat. Hal ini membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat manajemen atau oleh perubahan yang terjadi di pasar.
Masalah lain muncul saat akan mengubah nilai aset berdasarkan harga pasar. Siapa yang menentukan harga pasar? Ini mungkin pertanyaan yang mendasar, misalnya bagaimana menentukan harga pasar dari hutang obligasi yang dijamin.
Kubu yang menentang akuntansi berdasarkan nilai pasar menggunakan argumentasi bahwa market value accounting kurang dapat dipercaya dan menjadi halangan utama dalam penerapannya dan kukuh menganggap model historical cost lebih unggul sebab lebih dapat dipercayai (tingkat reliabilitas-nya lebih tinggi). Mereka ngotot bahwa subjectivity estimasi nilai wajar aktiva (fair value asset) dan liabilities tanpa pasar yang likuid membuat laporan keuangan menjadi tidak dapat dipercaya. Tetapi ada juga sebagian orang beranggapan bahwa subjectivity selalu menjadi bagian dari akuntansi dan masalah pengukuran dalam melaporkan informasi keuangannya berdasarkan nilai pasar berhasil diterapkan perusahaan, juga ketika penggabungan usaha dengan metode pembelian. Kemungkinan terbaik estimasi konsep relevan adalah bahwa penggunaan estimasi lebih baik ketimbang menggunakan ukuran yang tidak relevan. Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis,;dan cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut. Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan memperburuk kompromi.
Akan tetapi, hal yang cukup menarik adalah bahwa angka-angka yang dilaporkan dengan sistem akuntansi berdasarkan nilai pasar mempunyai korelasi sangat kuat dengan harga saham, dan memberi petunjuk bahwa nilai berdasarkan pasar lebih baik (lebih terpercaya) dari pada nilai berdasarkan historical cost seperti di AS. Akan tetapi, meskipun mempunyai keunggulan, sistem market value accounting berpotensi rentan terhadap manipulasi dan kesalahan estimasi, tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa angka-angka nilai berdasarkan pasar dikelola untuk menghindari peraturan yang membatasi permodalan. Dapat disimpulkan bahwa, pada akhirnya, penggunaan market value accounting akan memberikan dukungan berharga kepada lembaga-lembaga keuangan.

·           Kebaikan Menggunakan Fair Value
a)                  Relevance.
Banyak orang percaya bahwa standard akuntansi historical cost telah banyak kehilangan relevansinya karena kegagalannya mengukur realitas ekonomi. Hampir semua orang setuju bahwa peristiwa ekonomi yaitu, kejadian yang mengubah waktu kapan arus kas diterima dan jumlahnya yang akan datang – harus tercermin (terungkap) dalam laporan keuangan lembaga. Akan tetapi, seringkali model historical cost hanya mengukur transaksi sudah selesai dan gagal mengakui adanya perubahan nilai riil lain yang dapat terjadi.
b)                  Reliability.
Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis, dan cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut. Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan memperburuk kompromi kenetralan dan dipercayainya informasi keuangan.

·           Keburukan Menggunakan Fair Value
a)                  Fair value berusaha menyediakan informasi yang transparan dengan menilai aset pada tingkat harga yang dihasilkan jika segera dilikuidasi-sehingga sangat sensitif terhadap pasar.
b)                  Akuntansi fair value bekerja melalui akuntansi mark-to-market (MTM),
Yaitu aset dicantumkan pada harga pasar mereka jika diperdagangkan secara terbuka. Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat perubahan yang terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang dicatat. Hal ini membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat manajemen atau oleh perubahan yang terjadi di pasar.
c)                  Volatility.
Lembaga keuangan mengatakan bahwa mereka takut akuntansi berdasarkan pasar akan menyebabkan volatility kinerja lembaga (karena semakin mudahnya nilai item-item aktiva dan pasiva berfluktuasi). Walaupun sebenarnya lembaga keuangan yang senantiasa mengelola bahaya yang mengancam asset dan liability hanya sedikit takut dengan market value accounting. Laporan keuangan lembaga keuangan yang kurang efektif dalam mengelola risiko akan tercermin pada volatility yang selalu ada dalam setiap usahanya. Para investor dan kreditur akan memiliki informasi yang lebih berguna dan relevan dalam membedakan risiko antar perusahaan, ketika mengambil keputusan investasi dan keputusan pemberian kredit (jika menggunakan MVA).
Berdasarkan FASB Concept Statement No. 7 dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (FASB 2000). Terdapat tiga hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu dengan menggunakan nilai pasar, komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat diperbandingkan dengan item yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi (Hitz 2007).
Meskipun fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value, namun tidak berarti fair value itu sepenuhnya adalah current market value. Untuk item-item tertentu di dalam laporan keuangan yang berasal dari transaksi yang lazim terjadi (arm’s length transaction) dan harga-harganya juga dapat dengan mudah diukur dengan harga pasar, fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value. Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark to market. Namun untuk item-item yang harga pasarnya tidak tersedia, fair value diukur dengan menggunakan model penilaian yang didasarkan atas perhitungan-perhitungan dan estimasi tertentu. Pengukuranfair value seperti ini disebut juga dengan mark to model. Dengan demikian penggunaan fair value sesungguhnya dapat menimbulkan implikasi yang bersifat subyektif terutama yang berkaitan dengan penilaian (Blommaert dalam Verhog 2003).
(Gassen & Schwedler 2009) menemukan bahwa terdapat pemahaman yang berbeda-beda mengenai fair value. Fair value yang didasarkan atas harga pasar (mark to market) lebih bernilai dan memiliki decision usefulness lebih tinggi dibandingkan dengan fair value yang didasarkan atas penilaian (mark to model). (Gassen & Schwedler 2009) juga menemukan bahwa fair value yang berdasarkan pada harga pasar memiliki decision usefulness yang tinggi untuk aset-aset lancar dan non operasional, dan untuk aset tidak lancar serta aset-aset yang digunakan untuk kegiatan operasional, tidak ada perbedaan yang siginifikan dari sisi decision usefulness baik yang menggunakan historical cost maupun menggunakan market based fair value. Pendekatan dalam perhitungan fair value dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pendekatan pasar, pendekatan pendapatan dan pendekatan biaya (SFAS 157) Masing-masing pendekatan ini jika ditelusuri lebih lanjut memiliki resiko untuk menimbulkan terjadinya fraud dalam laporan keuangan, dan ini akan menjadi suatu diskusi yang sangat menarik mengenai penerapan fair value dan hubungannya dengan tindakan fraud dan resiko global.
Pengukuran dengan menggunakan atribut fair value memerlukan perhatian yang serius dari penyusun standar akuntansi, terutama dalam menciptakan konvergensi antara dua kerangka konseptual dan standar akuntansi yang saat ini banyak menjadi acuan yaitu yang dikeluarkan oleh FASB dan IASB. Hal ini diperlukan untuk mengatasi kendala-kendala penerapan fair value agar menjadi lebih andal (reliable), dapat diaudit (auditable), dan dapat diverifikasi (verifiable). Penerapan fair value tidak dapat dihindari dalam perkembangan akuntansi saat ini, yang harus dilakukan adalah menyediakan instrumen agar konsep fair value dapat lebih diperkuat dan dapat diukur secara lebih reliabel.
Pernyataan yang jelas dalam kerangka konseptual juga diperlukan terutama rekomendasi penggunaan fair value untuk item-item tertentu, seperti aset-aset atau kewajiban yang digunakan untuk meraih keuntungan jangka pendek (short-term trading profit). Pengungkapan (disclosure) mengenai penggunaan fair value juga perlu diatur secara lebih ketat untuk menghindari bias dan penyalahgunaan manajemen dalam melakukan estimasi, khususnya untuk item-item yang diukur dengan fair value namun current market value-nya tidak tersedia.
Sedikit tentang IFRS dan SAK ^0^
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada hari ini Selasa, 23 Desember 2008 dalam rangka Ulang tahunnya ke-51 mendeklarasikan rencana Indonesia untuk convergence terhadap International Financial Reporting Standards (IFRS) dalam pengaturan standar akuntansi keuangan. Pengaturan perlakuan akuntansi yang konvergen dengan IFRS akan diterapkan untuk penyusunan laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2012. Hal ini diputuskan setelah melalui pengkajian dan penelaahan yang mendalam dengan mempertimbangkan seluruh risiko dan manfaat konvergensi terhadap IFRS.
Compliance terhadap IFRS telah dilakukan oleh ratusan Negara di dunia diantaranya adalah Korea, India dan Canada yang akan melakukan konvergensi terhadap IFRS pada tahun 2011.  Data dari International Accounting Standard Board (IASB) menunjukkan  saat ini terdapat 102 negara yang telah menerapkan IFRS dengan berbagai tingkat keharusan yang berbeda-beda. Sebanyak 23 negara mengizinkan penggunaan IFRS secara sukarela, 75 negara mewajibkan penggunaan IFRS untuk seluruh perusahaan domestik, dan empat Negara mewajibkan penggunaan IFRS untuk perusahaan domestik tertentu.

Compliance
terhadap IFRS memberikan manfaat terhadap keterbandingan laporan keuangan dan peningkatan transparansi. Melalui compliance maka laporan keuangan perusahaan Indonesia akan dapat diperbandingkan dengan laporan keuangan perusahaan dari negara lain, sehingga akan sangat jelas kinerja perusahaan mana yang lebih baik. Selain itu, program konvergensi juga bermanfaat untuk mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan investasi global, dan mengurangi beban penysusunan laporan keuangan.
International Financial Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi utama pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia karena IFRS merupakan standar yang sangat kokoh. Penyusunannya didukung oleh para ahli dan dewan konsultatif internasional dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyediakan waktu cukup dan  didukung dengan masukan literatur dari ratusan orang dari berbagai displin ilmu dan dari berbagai macam jurisdiksi di seluruh dunia.
Dengan telah dideklarasikannya program konvergensi terhadap IFRS ini, maka pada tahun 2012 seluruh standar yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan  IAI akan mengacu kepada IFRS dan diterapkan oleh entitas. Dewan standar akuntansi keuangan pada kesempatan ini juga akan menerbitkan Eksposur draft Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil dan Menengah.  Standar UKM ini akan menjadi acuan bagi usaha kecil dan menenggah dalam mencatat dan membukukan semua transaksinya. DSAK juga akan terus mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan pencatatan dan pelaporan keuangan transaksi syariah, yang terus berkembang di tanah air.Konvergensi terhadap IFRS merupakan milestone baru dari serangkaian milestone yang pernah dicapai oleh Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia dalam sejarah perkembangan profesi akuntansi, khususnya dalam pengembangan standar akuntansi keuangan. 

Sederetan milestone sebelumnya yang terkait dengan hal tersebut dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah yang pernah diacapai sebelumnya dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI)”. Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha. Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan mengkondifikasikannya dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994”. Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dengan deklarasi, yang dilakukan sedini mungkin, ini kami berharap entitas memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam mengantisipasi tahap demi tahap proses konvergensi yang dilakukan oleh IAI.
Pada HUT Ikatan Akuntan Indonesia yang ke 51 ini berkenan hadir Menteri Pendidikan Nasional RI, Prof. Dr. Bambang Soedibyo, Ketua BAPEPAM & LK, Dr. A. Fuad Rachmany dan Deputi Gubernur Bank Indonesia Ardhayadi Mitroatmodjo. Selain beliau berdua, akan hadir pula para pengurus dan sesepuh Ikatan Akuntan Indonesia.
Pada kesempatan ini IAI juga memberikan penghargaan Achievement Award 2008 kepada tokoh-tokoh yang memberi kontribusi kepada pengembangan profesi akuntan yaitu kepada Prof. HS. Hadibroto, Prof. Dr. Djoko Susanto serta Drs. Hans Kartikahadi.



thank you^^

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates