INDONESIAN younger POPULARITY

Wednesday, June 2, 2010

Contoh Proposal Penelitian

PENGGUNAAN EKSTRAK-AIR DAUN KATUK SEBAGAI PENGGANTI FEED ADDITIVE KOMERSIAL UNTUK MEMPRODUKSI MEAT AND EGG DESIGNERS YANG EFISIEN

Oleh,

Nama : Margaretha
Kelas : 2 EB 06
NPM : 2020.8770



UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK 2010



1. Judul : Penggunaan Ekstrak-Air Daun Katuk sebagai Pengganti Feed Additive Komersial untuk Memproduksi Meat and Egg Designers yang Efisien.
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Margaretha
b. Jenis Kelamin : Prempuan
c. N I P : 20 20 8 77 0
d. Jabatan Struktural : -
e. Jabatan Fungsional : Mahasiswa
f. Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Akuntansi
g. Pusat Penelitian : -
h. Alamat : Akses UI DEPOK-Kelapa II.
i. Telpon/Faks : XXX
j. Alamat Rumah : Kayu Mas Utara
k. Telpon/Faks/e-mail : YYY
3. Jangka Waktu Penelitian : 4 bulan.
4. Pembiayaan
a. Jumlah biaya yang diajukan ke UNIB : Rp 80.160.000,-
b. Jumlah biaya tahun ke 1 : Rp 40.160.000,-
- Biaya tahun ke 1 yang diajukan ke UNIB: Rp 40.000.000,-
- Biaya tahun ke 1 dari Institusi Lain : Rp –




Jakarta,01 Juni 2010

Ketua Peneliti,




Margaretha
NPM 2020 8 77 0




I. Identitas Penelitian

1. Judul : Penggunaan Ekstrak-Air Daun Katuk sebagai Pengganti Feed Additive
Komersial untuk Memproduksi Meat and Egg Designers yang Efisien.
2. Ketua Peneliti
a) Nama Lengkap : Margaretha
b) Bidang Keahlian : Akuntansi
c) Jabatan Struktural : -
d) Jabatan Fungsional : Mahasiswa Ekonomi
e) E-mail : binytang_lampuneon@yahoo.com
3. Anggota Peneliti : 1 orang
4. Objek penelitian:
Tahun Objek Penelitian Aspek Penelitian
1 Ayam broiler Penggunaan ekstrak daun katuk sebagai pengganti feed additive komersial untuk memproduksi meat designer yang lebih efisien dan alami.
2
Ayam petelur Penggunaan ekstrak daun katuk sebagai pengganti feed additive komersial untuk memproduksi egg designer yang lebih efisien dan alami.

5. Masa pelaksanaan penelitian:
- Mulai : Tahun 2010
- Berakhir : Tahun 2010 ”4 Bulan Kemudian”
6. Anggaran yang diusulkan :
- Tahun pertama Rp. 40.160.000,-
- Anggaran keseluruhan : Rp 80.160.000,-

7. Lokasi Peneliti: Pertenakan Sekitar Komplek Peternakan Pulogadung

8. Hasil yang ditargetkan:
Tahun Temuan baru/paket teknologi/hasil lain
2010 Bulan 1-2 a) produk: ekstrak katuk, b) produk: meat designer, c) proses pembuatan ekstrak katuk, d) formula pakan broiler, e) hak cipta.
2010 Bulan 3-4 a) produk: egg designer, b) formula pakan petelur, c) hak cipta.

9. Institusi lain yang terlibat : Tidak ada.
10. Keterangan lain yang dianggap perlu : Hasil Penelitian dan Keterangan
ahli

II. Substansi Penelitian
ABSTRAK


Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk air panas (suhu 90oC) menurunkan penimbunan lemak, namun secara standar USDA belum memenuhi standar tuntutan konsumen. Kondisi ini diduga karena air panas merusak sebagian senyawa aktif yang ada dalam daun katuk. Selain itu, belum ada penelitian tentang ekstrak katuk sebagai pengganti feed additive komersial. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh ekstrak air katuk yang diekstraksi di bawah suhu 90oC sebagai pengganti feed additive komersial untuk memproduksi daging dan telur sesuai tuntutan konsumen (meat and egg designer) yang efisien. Pada tahun pertama, penelitian ini menggunakan broiler umur 20 hari (periode finisher). 180 ekor broiler dikelompokkan ke dalam 6 kelompok perlakuan yaitu sebagai berikut: 1) Kontrol yaitu broiler yang diberi pakan yang mengandung feed additive komersial sebesar 5 g/kg pakan: 2) Broiler diberi pakan mengandung 2,5 g feed additve komersial /kg pakan plus 2,5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC/kg pakan; 3) Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 5oC/kg pakan; 4) Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 30oC./kg pakan; 5) Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 60oC/kg pakan; 6) Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC./kg pakan. Setiap perlakuan terdiri dari 3 buah kandang yang berisi 10 ekor broiler. Broiler dipelihara dalam kandang litter sampai dengan umur 42 hari. Jumlah ransum yang dikonsumsi, FCR dan pertambahan berat badan diukur setiap minggu. Pada akhir penelitian, 5 ekor broiler untuk setiap kelompok perlakuan disembelih dan berat organ, lemak perut, lemak leher, daging dan bagiannya ditimbang. Karkas/daging paha untuk masing-masing perlakuan dikoleksi untuk analisis kadar kolesterol, komposisi asam lemak, asam amino dan -karotin. Jumlah Salmonella sp dan Escherichia coli pada daging juga dihitung. Hasil penelitian akan dianalisis ANOVA dan jika berbeda nyata akan diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test. Pada penelitian tahun kedua, empat puluh delapan ekor ayam petelur dikelompokkan ke dalam 6 kelompok perlakuan yaitu sebagai berikut: 1) Kontrol yaitu ayam petelur yang yang diberi pakan plus 5 g feed additive komersial/ /kg pakan; 2) Ayam petelur diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstraksi pada suhu 5oC sebesar 5 g/kg pakan; 3) Ayam petelur diberikan pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC sebanyak 2,5 g/kg pakan plus 2,5 g feed additive komersial/kg pakan; 4) Ayam petelur yang diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 30oC sebesar 5 g/kg pakan; 5) Ayam petelur yang diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstraksi pada suhu 60oC sebesar 5 g/kg pakan; 6) Ayam petelur yang diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC sebesar 5g /kg pakan. Setiap perlakuan terdiri dari 8 buah kandang yang berisi 1 ekor ayam petelur (individual cage). Variabel yang diukur dan analisis statistik sama dengan pada penelitian pertama.


BABI. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Dewasa ini industri unggas dihadapkan kepada permasalahan untuk memproduksi daging dan telur yang rendah kolesterol, rendah total lipid dan rendah asam lemak jenuh, tetapi kaya asam amino tertentu seperti asam aspartat, asam glutamat dan arginin (yang akhir-akhir ini dibuktikan mempunyai peranan penting bagi terjaganya kesehatan optimal manusia), rendah tingkat kontaminasi oleh mikrobia patogen dan bebas residu senyawa kimia sintetik serta mengandung protein dan -karotin yang tinggi. Produk daging dan telur dengan kriteria tersebut dinamakan meat and egg designers. Permasalahannya adalah bahwa feed additive komersial yang beredar di pasar selain mengandung senyawa kimia sintetik juga tidak mampu memproduksi daging dan telur dengan kriteria tersebut di atas. Feed additive komersial yang dijual di pasal, misalnya, produksi Medion (2007) hanya mengandung sejumlah vitamin, mineral mikro, antioksidan dan antibiotik. Dari susunan feed additive tersebut tidak terdapat senyawa-senyawa yang dibutuhkan untuk menghasilkan meat and egg designer seperti -karotin, senyawa peningkat rasa (kalium, asam glutamat, IMP), senyawa penurun bau amis, senyawa penurun kolesterol dan asam aspartat, asam glutamat serta arginin. Selain itu, feed additive komersial ini juga tidak mampu menghasilkan produk daging dan telur yang bebas mikrobia patogen. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Santoso et al. (2001a,b,c; Santoso et al., 2002) yang menunjukkan bahwa pemberian feed additive komersial menghasilkan daging dan telur yang tinggi kadar mikrobia patogennya. Pada umumnya, feed additive komersial disusun oleh senyawa-senyawa sintetik, yang telah dibuktikan mempunyai side effect yang tinggi seperti merusak sistem hormonal dan kekebalan tubuh (Cao et al., 2004).
Selain permasalahan tersebut di atas, feed additive komersial tidak dirancang untuk dapat mengatasi stress panas pada broiler dan ayam petelur yang dipelihara pada suhu tinggi seperti daerah pesisir.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dicarikan alternatif feed additive alami yang dapat menggantikan feed additive komersial dan mampu memproduksi meat and egg designer yang efisien. Feed additive alami tersebut harus mengandung senyawa aktif yang memberikan side effect yang lebih kecil dari pada senyawa kimia sintetik serta berpotensi untuk digunakan sebagai feed additive alami untuk memproduksi meat and egg designer serta mampu mengatasi stress panas pada broiler dan petelur yang dipelihara di wilayah pesisir. Feed additive alami yang berpotensi untuk menggantikan feed additive komersial antara lain adalah tumbuhan obat. Salah satu tumbuhan obat yang memenuhi kriteria di atas untuk menghasilkan meat and egg designer adalah daun katuk.

b. Tujuan Khusus
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh metode ekstraksi daun katuk dengan air pada suhu yang optimal. 2. Membandingkan ekstrak daun katuk sebagai feed additive dengan feed additive komersial dalam memproduksi meat and egg designer yang efisien.
Hasil penelitian ini akan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:
1. Kontribusi terhadap pembaharuan dan kemajuan ipteks.
a. Penelitian ini akan mengungkapkan metode ekstraksi dengan air pada suhu yang tepat. Metode ekstraksi dengan air pada suhu yang tepat diharapkan dapat memodifikasi komposisi asam lemak, -karotin, kolesterol, trigliserida dan protein pada daging broiler secara optimal. Proses pembuatan ekstrak daun katuk dapat dipatenkan.
b. Hal lain yang akan diungkap adalah kemungkinan ekstrak-air daun katuk berperan dalam mencegah fatty liver syndrome pada broiler.
c. Belum ada penelitian metabolisme lemak dan modifikasi komposisi kimia daging dan telur terutama komposisi asam lemak, asam amino dan -karotin daging dan telur oleh ekstrak daun katuk.
2. Keunggulan untuk memecahkan masalah pembangunan
Penelitian ini dapat memecahkan 3 masalah utama dalam pembangunan yaitu:
a. Penggunaan ekstrak-air daun katuk dapat menggantikan feed additive komersial dan memberikan efisiensi produksi yang lebih baik. Hal ini sangat membantu dalam pengembangan usaha peternakan broiler dan petelur dan peningkatan pendapatan peternak.
b. Memproduksi meat designer yaitu daging dan telur dengan kriteria rendah kolesterol, trigliserida, asam lemak jenuh, bebas residu senyawa kimia sintetis dan tinggi kadar protein dan -karotinnya. Produk hasil penelitian ini sangat mendukung program pemerintah dalam penyediaan bahan pangan yang bergizi tinggi dan aman dikonsumsi. Produk meat designer dapat dipatenkan.
c. Memproduksi egg designer yaitu telur dengan kriteria rendah kolesterol, trigliserida, asam lemak jenuh, bebas residu senyawa kimia sintetis dan tinggi kadar protein dan -karotinnya. Produk hasil penelitian ini sangat mendukung program pemerintah dalam penyediaan bahan pangan yang bergizi tinggi dan aman dikonsumsi. Produk egg designer dapat dipatenkan.
d. Penggunaan ekstrak-air daun katuk dapat menurunkan polusi akibat feses (kotoran) dan kandungan nitrogen dan fosfor yang tinggi dalam feses. Nitrogen dapat diubah menjadi amoniak, nitrat dan nitrit yang dapat mencemari udara, tanah dan air misalnya pH air dan tanah menjadi rendah.
e. Meningkatkan daya saing produk daging broiler dan petelur di pasar global, karena meat and egg designer mutunya sesuai dengan tuntutan konsumen global.
f. Menyumbang publikasi ilmiah internasional dari ilmuwan Indonesia di tingkat internasional.
3. Memberikan sumbangan bagi kemajuan ipteks
a. Memberi sumbangan pengetahuan berupa komposisi asam lemak, asam amino, -karotin dalam ekstrak-air dari daun katuk.
b. Teknologi ekstraksi daun katuk dengan air pada suhu yang optimal.
c. Pengembangan teknologi meat and egg designer.

c. Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Kesulitan untuk memproduksi meat and egg designer tersebut dapat diatasi oleh penggunaan ekstrak daun katuk sebagai pengganti feed additive komersial. Hal ini dikarenakan daun katuk banyak mengandung senyawa aktif yang dapat berperan sebagai feed additive. Daun katuk mengandung 6 senyawa utama yaitu monomethyl succinate dan cis-2-methyl cyclopentanol asetat, asam benzoat, asam fenil malonat, 2-pyrolidinon dan methyl pyroglutamate (Agustal et al., 1997). Methyl pyroglutamate jika dikonsumsi oleh unggas kemungkinan dapat meningkatkan sintesis asam amino dan meningkatkan sintesis protein. Glutamate merupakan senyawa antara dalam sintesis protein. Sintesis asam amino dan protein memerlukan energi tinggi, sehingga deposisi lemak menurun sejalan dengan meningkatnya sintesis asam amino. Selain itu, glutamat mempunyai peranan penting dalam penghambatan sintesis asam lemak. Monomethyl succinate dan methylcyclopentanol acetate diduga dapat dikonversikan menjadi succinate dan acette. Pemberian acetate dan succinate dapat berperan dalam siklus kreb sehingga dihasilkan ATP yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan efisiensi metabolisme energi menjadi lebih baik. Efisiensi metabolisme yang lebih tinggi diduga akan meningkatkan efisiensi pakan. Asam fenil malonat dapat dikonversikan menjadi malonil-KoA yang berperan dalam metabolisme asam lemak. Selain itu acetate dan succinate berperan dalam metabolisme lemak. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka pemberian ekstrak daun katuk diduga dapat memodifikasi komposisi asam lemak, kolesterol dan fraksinya, trigliserida, dan meningkatkan deposisi protein serta memodifikasi komposisi asam amino pada daging dan telur. Hal ini didukung oleh hasil penelitian berikut ini. Santoso dan Sartini (2001) menemukan bahwa pemberian tepung daun katuk sebesar 3% dalam ransum broiler mampu meningkatkan efisiensi ransum sebesar 10% dan menurunkan akumulasi lemak perut sebesar 30% serta menurunkan kadar lemak karkas. Namun pemberian tepung daun katuk sebesar 3% ini menurunkan pertambahan berat badan. Santoso (2001a,b,c) menemukan ekstrak air panas (katuk diekstrak dengan air panas bersuhu 90oC) juga mampu menurunkan akumulasi lemak pada abdomen sebesar 15%. Jika dibandingkan dengan penelitian Santoso dan Sartini (2001), maka ekstrak katuk cenderung meningkatkan pertambahan berat badan dan lebih efisien jika dibandingkan dengan tepung katuk. Daya guna ekstrak akan lebih optimal jika diekstraksi dengan air bersuhu lebih rendah (Risfaheri et al., 1997).
Daun katuk mengandung 10.010 g all-trans--carotene/100 g daun katuk (Hulshof et al., 1997). Oleh sebab itu, pemberian daun katuk ke dalam ransum broiler dapat meningkatkan kadar -karotin dalam karkas. Peningkatan senyawa tersebut dalam karkas sangat penting selain berfungsi sebagai pigmen, ia juga berfungsi sebagai prekursor sintesis vitamin A dan sebagai antioksidan alami. Introduksi -karotin ke dalam karkas sebagai pigmen kuning alami masih kontradiksi di antara peneliti. Misalnya, sementara Subekti menemukan bahwa -karotin secara signifikan mampu meningkatkan warna kuning telur, namun penelitian lain ternyata tidak efektif (e.g. Santoso et al., 2002). Kurang signifikannya peningkatan warna kuning telur pada penelitian Santoso et al. (2002) disebabkan oleh metode ekstraksi yang menggunakan air bersuhu 90oC yang menyebabkan sebagian -karotin rusak.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa daun katuk juga mempunyai sifat antibakteri. Darise dan Sulaeman (1997) menemukan bahwa ekstrak daun katuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella typhosa, tetapi kurang memberikan daya hambat terhadap Pseudomonas dan Escherichia coli.
Santoso (2001a,b,c) mengevaluasi penggunaan ekstrak daun katuk – yang diekstraksi dengan air panas (suhu 90oC)-- juga mampu menurunkan jumlah Escherichia coli dan Salmonella sp. daging dan meningkatkan efisiensi pertumbuhan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Santoso et al. (2001) yang menemukan ekstrak daun katuk sebanyak 4,5 g/l air minum mampu menurunkan akumulasi lemak, jumlah Salmonella sp. dan Escherichia coli dalam feses broiler serta meningkatkan pertumbuhan. Hasil penelitian Santoso et al. (2002) menunjukkan bahwa dari berbagai metode ekstraksi (pelarut: 95% etanol, 70% etanol dan methanol serta air bersuhu 90oC) ternyata air panas memberikan hasil yang terbaik.
Namun, masalahnya ekstraksi dengan air panas akan merusak beberapa senyawa aktif pada daun katuk. Risfaheri et al. (1997) menemukan bahwa meskipun ekstraksi dengan air panas (suhu 90oC) menghasilkan rendemen yang tinggi namun beberapa senyawa penting mengalami kerusakan. Oleh sebab itu daya guna ekstrak daun katuk dimungkinkan akan lebih baik jika menggunakan metode ekstraksi air dengan suhu air yang lebih rendah.
Ekstrak daun kaya akan vitamin C dan vitamin E (Risfaheri et al., 1997). Kedua vitamin ini telah terbukti merupakan senyawa antistress panas (Ipek et al., 2007). Oleh sebab itu, penggunaan ekstrak daun katuk berpotensi mengatasi stress panas pada broiler dan ayam petelur yang dipelihara di daerah pesisir.
Kelebihan ekstrak daun katuk jika dibandingkan dengan feed additive komersial, disamping lebih kaya akan senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk menghasilkan meat and egg designer, juga mempunyai kelebihan dalam aspek harga. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa harga jual ekstrak daun katuk adalah Rp 15.000,-/kg, sedangkan harga feed additive komersial adalah sebesar Rp 30.000,-/kg. Jika dihitung, setiap ekor ayam broiler membutuhkan 17,5 g feed additive. Jika kita menggunakan feed additive komersial diperlukan biaya sebesar Rp 525,-, tetapi jika menggunakan ekstrak katuk diperlukan biaya hanya Rp 262,5 per ekornya. Jika dalam industri broiler skala menengah yang mengeluarkan broiler sebanyak 20.000 ekor setiap bulannya, maka akan dihemat biaya sebesar Rp 5.250.000,-/bulan. Keuntungan lain penggunaan ekstrak daun katuk adalah harga daging atau telur yang dihasilkan mempunyai harga lebih tinggi antara 30-60% dari harga daging dan telur yang diberi feed additive komersial serta mempunyai mutu internasional. Hasil pengamatan di pasar menunjukkan bahwa telur bebas Salmonella sp saja dijual dengan harga Rp 1.000,-/butir, sementara telur biasa hanya Rp 600,- - Rp 700,-. Padahal, produk dari penelitian ini bukan saja menghasilkan daging dan telur yang bebas Salmonella sp., tetapi juga bebas Escherichia coli, rendah kolesterol, kaya -karotin, kaya asam glutamat, asam aspartat, arginin, dan bebas residu senyawa sintetik & antibiotik serta tinggi kelezatan tetapi rendah bau amisnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian tersebut di atas, maka diduga bahwa suplementasi ekstrak daun katuk yang diekstraksi dengan air bersuhu lebih rendah daripada 90oC akan menghasilkan meat and egg designer dengan mutu lebih baik dan lebih efisien jika dibandingkan dengan feed additive komersial.

BAB II. STUDI PUSTAKA

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pakan adalah dengan menambahkan feed addtive ke dalam pakan broiler dan petelur. Feed additive adalah zat atau bahan yang ditambahkan ke dalam pakan yang dapat meningkatkan kesehatan ternak dan proses pemanfaatan gizi oleh ternak (Sinurat et al., 2002). Salah satu feed additive yang dapat terdapat dalam feed additive komersial adalah antibiotik. Meskipun antibiotic mampu meningkatkan produkyivitas, naum antibiotic ternyata mempunyai efek negatif terhadap kesehatan manusia ketika mereka mengkonsumsi daging dan telur (Barton dan Hart, 2001), sehingga banyak negara yang kemudian melarang penggunaannya. Peneliti lain (Chen et al., 2005; Imik et al., 2006; dan Kyriakis et al., 2003) juga menemukan bahwa meskipun antibiotika sebagai perangsang pertumbuhan dengan cara mengurangi bakteri dan memodifikasi mikroflora dalam saluran pencernaan, antibiotika juga tersimpan dalam produk ternak dan berpotensi menyebabkan resistensi mikrobia patogen yang menyerang manusia. Hal ini diperkuat oleh Khaksefidi dan Rahimi (2005) bahwa penggunaan antibiotic untuk meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan mencegah infeksi usus menyebabkan berkembangnya bacteria yang resisten terhadap antibiotik dalam saluran pencernaan dan adanya residu obat dalam daging, dan telur.
Feed additive komersial disamping mengandung antibiotik, ia juga mengandung senyawa sintetik. Terdapat bukti bahwa penggunaan senyawa sintetik mempunyai efek samping yang lebih besar daripada senyawa alami. Cao et al. (2004) menemukan bahwa penggunaan senyawa sintetik ternyata lebih berpotensi untuk merusak sistem kekebalan tubuh daripada senyawa alami. Mekanisme tentang lebih tingginya efek samping senyawa sintetik masih belum diketahui. Selain itu, senyawa sintetik akan terakumulasi dalam daging dan telur, dan ketika dikonsumsi, dapat mempunyai efek negatif terhadap kesehatan manusia dalam jangka panjang.
Selain permasalahan tersebut di atas, feed additive komersial yang dijual di pasar tidak mengandung senyawa-senyawa yang mampu meningkatkan warna karkas dan kuning telur, dan rasa serta tidak mengandung senyawa-senyawa yang mampu menurunkan Salmonella sp., Escherichia coli, kolesterol, trigliserida, dan bau amis produk unggas (Medion, 2007). Pahadal konsumen dewasa ini menuntut produk unggas dengan kriteria-kriteria di atas serta menuntut produk unggas bebas dari residu obat-obatan. Untuk itu, diperlukan feed additive lain yang lebih aman, bebas residu obat-obatan serta mampu memenuhi tuntutan konsumen.
Salah satu feed additive alami yang berpotensi untuk menggantikan feed additive komersial adalah daun katuk. Berdasarkan hasil penelitian, daun katuk kaya akan -karotin yaitu sebanyak 10.020 g (Depkes, 1982). Ini berarti pemberian daun katuk dan ekstraknya dapat meningkatkan kadar pigmen terutama -karotin dalam karkas broiler. Selain itu, -karotin sebagai provitamin A dapat diubah menjadi vitamin A. Jadi pemberian daun katuk dan ekstraknya dapat meningkatkan kadar -karotin dan vitamin A dalam karkas broiler. Hasil penelitian Santoso et al. (2002) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air panas (suhu 90oC) sebanyak 9 g/kg ransum cenderung meningkatkan warna kuning telur. Pada penelitian ini, pigmentasi kurang efektif untuk meningkatkan warna kuning telur. Hal ini diduga karena air panas (suhu air 90o C) merusak -karotin. Risfaheri et al. (1997) menemukan bahwa meskipun ekstraksi dengan air panas (suhu 90oC) menghasilkan rendemen yang tinggi namun beberapa senyawa penting mengalami kerusakan. Oleh sebab itu daya guna ekstrak daun katuk dimungkinkan akan lebih baik jika menggunakan metode ekstraksi air dengan suhu air yang lebih rendah. Namun belum diketahui suhu efektif yang dapat mengekstraksi senyawa aktif tanpa merusak senyawa tersebut. Ekstraksi dengan air pada suhu tertentu sangat penting artinya untuk menghilangkan efek negatif dari daun katuk. Menurut Chang et al. (1998 ), Ger et al. (1997), Lai et al. (1996) dan Yong et al. (1997) bahwa mengkonsumsi jus segar dari daun katuk dapat merangsang kelainan pada paru-paru yaitu Bronchiolitis obliterans dan chronic obstructive pulmonary disease. Pengaruh negatif ini dapat dikurangi dengan merebus daun katuk.
Senyawa lain yang penting dalam daun katuk yang kemungkinan berperan dalam metabolisme zat gizi ditemukan oleh Agustal et al. (1997). Mereka menemukan bahwa hasil GCMS terhadap ekstrak daun katuk, maka ditemukan ada 6 senyawa utama yaitu monomethyl succinate dan cis-2-methyl cyclopentanol acetate (ester), asam benzoat dan asam fenil malonat (asam karboksilat), 2-pyrrolidinon dan methyl pyrroglutamate (alkaloid). Apabila daun katuk dipanaskan dengan air, maka senyawa-senyawa ester yang ada dalam daun katuk akan dihidrolisis menjadi asam karboksilat. Sedangkan Suprayogi (2000) menemukan bahwa daun katuk mengandung androstan-17-one, 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (steroid). Depkes (1982) menemukan bahwa daun katuk kaya akan vitamin C yaitu sebanyak 164 mg/100 gram daun katuk. Vitamin C berguna bagi kesehatan broiler dan petelur yang dipelihara pada daerah tropis yang mempunyai suhu dan kelembaban tinggi. Suplementasi vitamin C juga berguna bagi broiler dan petelur yang mempunyai pertumbuhan dan produktivitas tinggi. Ipek et al. (2007) nenemukan bahwa pemberian vitamin E dan C mampu meningkatkan produksi telur, efisiensi penggunaan pakan dan pertambahan berat badan.
Ekstraksi dengan air panas (suhu di atas 90oC) akan merusak senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk (Risfaheri et al., 1997), sehingga efektivitasnya menjadi rendah. Hal ini terungkap dalam penelitian Santoso et al. (2002) yang menemukan bahwa meskipun pemberian ekstrak air panas pada ayam petelur (suhu ekstraksi 90oC) tersebut memberikan efisiensi pakan yang lebih baik daripada ekstrak etanol maupun ekstrak methanol, tapi kenaikkan efisiensi pakan tersebut belum signifikan. Pada penelitian lainnya, Santoso (2001) juga menemukan bahwa ekstrak air panas kurang efektif meningkatkan pertambahan berat badan. Padahal dengan adanya senyawa steroid (Suprayogi, 2000) dan senyawa aktif lainnya (Agustal et al., 1997) seharusnya ekstrak daun katuk sangat efektif untuk meningkatkan pertambahan berat badan. Ekstraksi dengan air yang bersuhu lebih rendah diduga dapat mencegah terjadinya kerusakan senyawa aktif, sehingga efektivitasnya menjadi lebih optimal.
Senyawa yang berperan dalam penurunan penimbunan lemak antara lain adalah vitamin C, methyl pyrroglutamate dan -karotin. Hasil penelitian Santoso et al. (2002) menunjukkan bahwa ekstraksi air panas (suhu ekstraksi 90oC) menurunkan kadar kolesterol telur lebih baik daripada ekstrak etanol dan ekstrak methanol. Dalam penelitian lain (Santoso et al., 2001), ekstrak air panas ini mampu menurunkan akumulasi lemak abdominal sebesar 20% dan hanya menurunkan 10% kadar lemak dalam karkas. Food and Drug Administration in the United States (1997) menyatakan bahwa untuk menghasilkan suatu produk yang secara legal dinyatakan lebih rendah atau menurunkan kadar zat gizi tertentu, produk tersebut harus mengandung zat gizi yang dinyatakan turun tersebut minimal 25% lebih rendah daripada kadar zat gizi yang normal. Berdasarkan pernyataan ini, maka ekstrak air panas belum efektif menurunkan penimbunan lemak pada abdomen dan karkas. Untuk meningkatkan efektivitas ekstrak air panas dari daun katuk, maka diperlukan metode ekstraksi air pada suhu yang lebih rendah. Memang hasil penelitian Santoso dan Sartini (2001) menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk sebesar 3% mampu menurunkan lemak abdominal sebanyak 30%, namun menurunkan pertambahan berat badan. Penurunan pertambahan berat badan ini dalam dunia industri peternakan di negara berkembang dapat berdampak kecilnya keuntungan yang diperoleh peternak. Hal ini dikarenakan penjualan broiler hanya berdasarkan berat badan dari pada berorientasi kepada mutu karkas.
Hasil penelitian Santoso et al. (2001) menunjukkan bahwa ekstrak daun katuk berpotensi untuk menurunkan jumlah Salmonella sp dan Escherichia coli, dan meningkatkan mikrobia efektif seperti Lactobacillus sp. Darise dan Sulaeman (1997) menemukan bahwa ekstrak daun katuk mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan luas hambatan antara 11 mm – 21 mm. Selain itu juga mampu menghambat pertumbuhan Salmonella typhosa dengan luas hambatan antara 7 mm – 25 mm. Oleh sebab itu, ekstrak daun katuk berpotensi sebagai pengganti antibiotika yang biasanya terkandung dalam feed additive komersial. Daun katuk juga kaya akan senyawa mineral seperti kalsium, kalium, fosfor dan besi (Oei, 1987) dan kaya akan vitamin D, vitamin B6 dan vitamin B1. Mineral dan vitamin tersebut sangat berperan dalam peningkatan mutu daging. Sebagai contoh mineral kalium – idsamping asam glutamat dan IMP – merupakan senyawa aktif untuk rasa daging ayam. Belum terdapat penelitian mengenai komposisi mineral mikro yang terkandung dalam ekstrak daun katuk. Oleh sebab itu, perlu diteliti komposisi mineral mikro dan vitamin dari ekstrak daun katuk dan kemungkinannya sebagai pengganti feed additive komersial. Feed additive komersial biasanya mengandung antibakteri, senyawa mineral mikro dan vitamin.
Berdasarkan uraian di atas, maka ekstrak daun katuk yang diekstraksi dengan air bersuhu di bawah 90oC diduga mampu menggantikan feed additive komersial dengan beberapa kelebihan yaitu penimbunan lemak yang lebih rendah, mutu daging yang lebih baik dan efisiensi produksi yang lebih tinggi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya pembuatan ekstrak daun katuk pada skala rumah tangga sebesar Rp 15.000,-/kg, sedangkan harga feed additive komersial adalah Rp 30.000,-/kg. Jika dihitung, setiap ekor ayam broiler membutuhkan 17,5 g feed additive. Jika kita menggunakan feed additive komersial diperlukan biaya sebesar Rp 525,-, tetapi jika menggunakan ekstrak katuk diperlukan biaya hanya Rp 262,5 per ekornya. Jika dalam industri broiler skala menengah yang mengeluarkan broiler sebanyak 20.000 ekor setiap bulannya, maka akan dihemat biaya sebesar Rp 5.250.000,-/bulan. Keuntungan lain penggunaan ekstrak daun katuk adalah harga daging atau telur yang dihasilkan mempunyai harga lebih tinggi antara 30-60% dari harga daging dan telur yang diberi feed additive komersial serta mempunyai mutu internasional. Hasil pengamatan di pasar menunjukkan bahwa telur bebas Salmonella sp saja dijual dengan harga Rp 1.000,-/butir, sementara telur biasa hanya Rp 600,- - Rp 700,-. Jika, dihitung kenaikkan harga telur 40% saja, maka terdapat kenaikkan harga telur dari Rp 600,- menjadi Rp 840,- Jika dalam satu peternakan ayam petelur dengan jumlah ayam petelur sebanyak 10.000 ekor dengan tingkat produksi 80%, maka akan diperoleh tambahan keuntungan sebesar Rp 1.920.000,- per hari. Dalam satu bulan akan diperoleh tambahan keuntungan sebesar Rp 57.600.000,- Padahal, produk dari penelitian ini bukan saja menghasilkan daging dan telur yang bebas Salmonella sp., tetapi juga bebas Escherichia coli, rendah kolesterol, kaya -karotin, kaya asam glutamat, asam aspartat, arginin, dan bebas residu senyawa sintetik & antibiotik serta tinggi kelezatan tetapi rendah bau amisnya.
Berdasarkan analisis dan sintesis telaah pustaka, maka diasumsikan bahwa ekstrak daun katuk mampu menggantikan fungsi feed additive komersial. Selain itu, penggunaan ekstrak daun katuk diduga akan mampu menghasilkan daging dan telur sesuai dengan tuntutan konsumen.

BAB III. METODE PENELITIAN

Penelitian Tahun 1.
Penelitian ini akan dilakukan di laboratorium Peternakan dan Pertanian Pulogadung untuk analisis sampel.
Penelitian direncanakan melalui 4 tahap yaitu: 1). tahap pembuatan ekstrak daun katuk; 2). tahap persiapan kandang dan pemeliharaan broiler; 3). Analisis laboratorium dan; 4) Analisis data.
Tahap 1. Ekstraksi daun katuk
Metode 1.
Daun katuk segar ditambah air bersuhu 5oC dengan perbandingan 1:5. Diaduk dan dibiarkan selama 20 menit, dan diblender sampai menjadi jus. Jus yang diperoleh kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dikeringkan pada suhu 50oC selama 36 jam.
Metode 2.
Daun katuk dikering-anginkan sampai kering. Setelah kering daun katuk ditumbuk menjadi tepung. Tepung yang diperoleh kemudian direbus pada suhu 30oC selama 20 menit dimana perbandingan daun katuk dengan air adalah 1:5. Setelah itu, hasil rebusan diblender dan disaring. Ekstraksi dilakukan dua kali. Hasil saringan kemudian dikeringkan pada suhu 50oC selama 36 jam.
Metode 3 dan 4.
Metode 3 dan 4 sama dengan metode 1 hanya perbedaannya pada suhu perebusan yaitu masing-masing 60oC untuk metode 3 dan 90oC untuk metode 4.
Hasil ekstrak yang diperoleh dievaluasi warna dan baunya.
Tahap 2. Pemeliharaan broiler
Penelitian ini menggunakan broiler umur 20 hari (periode finisher). Ransum yang digunakan mengandung protein kasar 19% dan ME 3200 kkal/kg. (NRC, 1994) tanpa suplementasi antibiotika.
Pada umur 20 hari 150 ekor broiler dikelompokkan ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu sebagai berikut:
1. Kontrol yaitu broiler yang diberi pakan yang mengandung feed additive komersial sebesar 5 g/kg pakan.
2. Broiler diberi pakan mengandung 2,5 g feed additve komersial /kg pakan plus 2,5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC/kg pakan.
3. Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 5oC/kg pakan.
4. Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 30oC./kg pakan.
5. Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 60oC/kg pakan.
6. Broiler diberi pakan mengandung 5 g ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC./kg pakan.
Setiap perlakuan terdiri dari 3 buah kandang yang berisi 10 ekor broiler. Susunan pakan tercantum pada Tabel 1. Broiler dipelihara dalam kandang litter sampai dengan

Tabel 1. Susunan ransum pada penelitian 1 (%)
Bahan Ransum Kontrol Ekstrak Air-5 oC Ekstrak Air-30oC Ekstrak Air-60oC Estrak Air-90oC
Jagung kuning
Minyak kelapa
Bungkil kedelai
Tepung ikan
Kalsium karbonat
Mineral mixuture
Garam dapur
Feed additive komersial (top mix)
Ekstrak katuk 55,6
6,53
29,6
4,7
1,32
1,35
0,4
0,5

0 55,6
6,53
29,6
4,7
1,32
1,35
0,4
2,5

2,5* 55,6
6,53
29,6
4,7
1,32
1,35
0,4
0

0,5 55,6
6,53
29,6
4,7
1,32
1,35
0,4
0

0,5 55,6
6,53
29,6
4,7
1,32
1,35
0,4
0

0,5 55,6
6,53
29,6
4,7
1,32
1,35
0,4
0

0,5
Komposisi kimia
Protein (%)
ME (kkal/kg)
20,0
3200
20,0
3200
20,0
3200
20,0
3200
20,0
3200
*Ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC.

NB = Data diatas seharusnya Berbentuk Tabelis*

umur 42 hari. Pemeliharaan broiler sesuai dengan standar pemeliharaan yang berlaku. Jumlah ransum yang dikonsumsi, konversi pakan dan pertambahan berat badan diukur
setiap minggu. Abnormalitas kaki juga diamati dan dinilai dari nilai 1 (normal) sampai nilai 5 (sangat abnormal, ayam tidak dapat berjalan).

Tahap 3. Pengambilan sampel dan analisis laboratorium
Pada akhir penelitian, 4 ekor broiler untuk setiap kelompok perlakuan disembelih dan berat organ dalam (hati, jantung, usus, limfa, rempelo dan pancreas), lemak perut, lemak leher, daging dan bagiannya ditimbang. Untuk mengukur kejadian fatty liver syndrome, maka warna hati dibandingkan dengan warna standar dari nilai 1 (normal) sampai dengan 5 (fatty liver syndrome yang berat).
Daging paha untuk masing-masing perlakuan dikoleksi untuk analisis kadar kolesterol, trigliserida, komposisi asam lemak, dan protein.

1. Analisis kolesterol daging
1. Timbang sample (0,01 – 0,1 g) ke dalam tabung. Centrifuge kering, tambahkan 12 ml campuran alcohol-ether (3:1) sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan batang pengaduk, aduk terus + 1 menit batang pengaduk diangkat dan bilas dengan sedikit campuran alcohol:ether (larutan pengekstrak).
2. Biarkan selama 30 menit.
3. Centrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
4. Dekantasi larutan (supernatan) ke dalam beaker glass kecil yang kering dan uapkan diatas penangas air sampai larutan pengekstrak habis. Residu adalah kolesterol.
5. Ekstraksi residu (kolesterol) ke dalam tabung berskala dengan khloroform sedikit demi sedikit sampai mencapai 5 ml (tepatkan).
6. Ke dalam 2 tabung gelas yang lain masing-masing masukan 5 ml standard kolesterol dan 5 ml khloroform (untuk blanko).
7. Kemudian ke dalam 3 tabung tersebut tambahkan 2 ml asam asetat anhidrat dan 0,1 ml asam sulfat pekat. Kocok dan biarkan selama 15 menit dalam ruang gelap.
8. Baca absorbansinya pada Spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm, set 0 absorbansi dengan blanko.

Perhitungan
. RU x 0,4 x 100 = ……….% kolesterol
RS mg sample

RU = pembacaan sample
RS = penbacaan standard
0,4 = kosentrasi kolesterol 0,4 mg

2 .Analisis total lipid daging
1. Timbang 2 g bahan yang telah dihaluskan. Untuk daging dicampur dengan pasir yang telah dipijarkan. Campur dan ratakan di atas kertas saring, dan kertas saring dilipat. Masukkan ke dalam tabung ekstraksi Soxhlet dalam thimble.
2. Alirkan air pendidingin.
3. Pasang tabung ekstraksi pada alat distilasi Soxhlet dengan pelarut dietil-eter secukupnya . Untuk daging ekstraksi cukup 10 jam dan untuk ekstrak daun katuk selama 16 jam.
4. Dietil eter yang mengandung ekstrak lemak dipindahkan ke dalam botol timbang yang bersih dan diketahui beratnya kemudian uapkan dengan penangas air sampai agak pekat. Teruskan pengeringan dalam oven 100oC sampai berat konstan.
5. Berat residu dalam botol timbang dinyatakan sebagai berat lemak.

3. Analisis komposisi asam lemak
1. Timbang kira-kira 1 g daging. Kemudian larutkan ke dalam pelarut yang terdiri dari 17,5 ml dietileter, 17,5 petroleum eter dan 6,5 ml etanol 95%. Pindahkan seluruhnya ke dalam corong pemisah.
2. Tambahkan 12,5 ml larutan 1% Na2CO3 ke dalam corong pemisah yang berisi sampel dan gojog sampai merata. Kemudian diamkan sampai dua cairan memisah.
3. Pisahkan cairan bagian bawah (air) dan kumpulkan.
4. Bagian eter yang tertinggal dicuci lagi dengan 1,5 ml etanol 95% dan 7,5 ml larutan 1% Na2CO3. Gojog dan diamkan. Pisahkan bagian bawah (air) dan gabungkan lagi dengan bagian air yang terkumpul.
5. Bagian eter yang tertinggal dicuci lagi dengan 6,5 ml air. Gojog dan diamkan. Pisahkan bagian bawah (air) dan gabungkan dengan bagian air yang telah terkumpul.
6. Garam asam lemak yang terkumpul dalam bagian air dibebaskan dengan 1,5 ml larutan 10% H2SO4. Gojong sampai merata dalam corong pemisah sampai merata dan kemudian tambahkan 12,5 ml campuran dietileter: petroleum eter = 1:1. Gojoglah dan diamkan sampai kedua cairan terpisah.
7. Pisahkan bagian eter (atas) dan kumpulkan. Sisa bagian air yang tertinggal, dicuci lagi dengan campuran pelarut sampai tiga kali dan kumpulkan cairan eter yang diperoleh.
8. Tambahkan 1 g Na2SO4 pada kumpulan cairan eter untuk mengikat air yang terikut.
9. Saring cairan eter melalui kertas saring, cuci dengan campuran eter untuk mencuci asam lemak yang menempel pada wadah dan kertas saring.
10. Keringkan filtrat yang diperoleh.
11. Tambahkan 2 ml larutan diazometan ke dalam filtrat dalam tabung reaksi ukuran besar. Untuk mempercepat reaksi, tambahkan beberapa ml larutan methanol 10% dalam dietil eter. Apabila cukup diazometan maka warna kuning tidak hilang setelah gelembung udara yang terjadi waktu ada reaksi berhenti.
12. Setelah gelembung udara berhenti terbentuk, keringkan diazometan yang berlebihan dan pelarut eternya dengan meniupkan gas N2.
13. Tambahkan pelarut dietil eter dalam volume yang diketahui secukupnya, sehingga mendapatkan larutan ester asam lemak dengan konsentrasi tertentu.
14. Beberapa l disuntikkan ke dalam alat Gas Liquid Chromatography.
4. Analisis asam amino daging
Asam amino ditentukan setelah hidrolisis sample dalam 1 ml 6 mol/l distilled hydrochloric acid yang mengandung 0,1% fenol dalam tabung gelas dalam kondisi hampa selama 24 jam pada suhu 110oC. Asam amino kemudian diukur dengan HPLC yang dikalibrasi dengan campuran asam amino yang diketahui konsentrasinya menurut metode Morel et al. (2003). Kolesterol kuning telur dianalisis dengan modifikasi Liebermann-Burchad sebagai berikut. Sampel kuning telur ditimbang (0,01-0,1 g) dan dimasukkan ke dalam tabung yang ditambahkan 12 ml alcohol-eter (3:1) sedikit demi sedikit sambil diaduk selama 1-2 menit. Kemudian dibiarkan selama 30 menit. Setelah itu dipusingkan pada 3000 rpm selama 10 menit. Dekantasi larutan (supernatan) ke dalam tabung berskala dengan memasukkan kloroform sampai mencapai 5 ml. Ke dalam 2 tabung gelas yang lain masing-masing masukkan 5 ml standar kolesterol dan 5 ml kloroform (untuk blanko). Kemudian ke dalam 3 tabung tersebut tambahkan 2 ml asam asetat anhidrat dan 0,1 ml asam sulfat pekat. Kocok dan biarkan selama 15 menit, diukur absorbsinya pada spectrophotometer dengan panjang gelombang 420 nm.

Untuk uji mutu daging, maka akan diuji meat-bone ratio, cooking loss, spot-spot pada dada dan paha, berat karkas, warna karkas dan uji organoleptik. Untuk uji organolepteik, sepuluh panelis sensori terlatih akan diminta untuk membandingkan palatabilitas relatif dari rasa, termasuk bau, warna daging. Uji kualitas daging diukur pada akhir penelitian. Uji warna karkas dilakukan dengan cara membandingkan warna karkas dengan menggunakan yolk colour scale. Panelis juga diminta menilai bau dan warna daging dada dari nilai 1 sampai dengan 5. Warna daging dinilai dengan membandingkan warna daging dada dengan warna standar ID-DLO reference scale dari 1-5. Spot-spot pada daging dada dan paha juga dinilai berdasarkan standar ID-DLO reference scale dari nilai 1 (normal) sampai dengan nilai 5 (cukup banyak spot). Bau daging dinilai berdasarkan nilai 1 (sangat amis), nilai 2 (amis), nilai 3 (agak amis), nilai 4 (kurang amis) dan nilai 5 (tidak amis). Khusus untuk uji rasa, panelis sebelumnya dilatih dengan cara mencicipi kaldu daging ayam bagian dada yang diperoleh dengan cara merebus daging tersebut pada berbagai konsentrasi. Nilai 1 (rasa tidak enak) diperoleh dengan membuat kaldu dari 1 g daging yang direbus dalam 50 ml air; nilai 2 (rasa kurang enak) pada perbandingan 4 g daging/50 ml air; nilai 3 (rasa cukup enak) pada perbandingan 7 g daging/50 ml air; nilai 4 (rasa enak) pada perbandingan 10 g daging/50 ml air; dan nilai 5 (sangat enak) pada perbandingan 13 g daging/50 ml air. Setelah panelis dapat membedakan rasa daging seperti yang diharapkan, maka mereka kemudian diminta untuk mencicipi dan menilai rasa daging dari tidak enak (nilai 1) sampai dengan sangat enak (nilai 5). Untuk uji rasa, daging dikukus pada suhu 80oC selama 20 menit, didinginkan dan diuji rasa. Cooking loss diperoleh dengan cara mengukus daging bagian dada pada suhu 80oC selama 20 menit dan kemudian didinginkan selama 30 menit. Cairan yang terjadi di permukaan daging setelah pengukusan dikeringkan dengan kertas hisap. Cooking loss dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Cooking loss = Berat sebelum – setelah dikukus x 100%
Berat daging sebelum dikukus

Untuk mengetahui pengaruh negatif dari daun katuk yang diberikan, maka organ dalam (hati, ginjal, spleen, jantung dan paru-paru) diperiksa secara makroskopis. Pemeriksaan secara makroskopis dilakukan dengan cara memeriksa keabnormalitasan yang dapat dilihat dengan mata seperti warna, bentuk, berat, ada tidaknya spot.
Output yang diharapkan adalah diperolehnya ekstrak daun katuk terbaik untuk memproduksi modified meat yang efisien. Selain itu diharapkan menghasilkan publikasi ilmiah tingkat internasional dan 3 skripsi mahasiswa. Adapun keempat skripsi tersebut berjudul sebagai berikut:
1. Pengaruh penggunaan ekstrak air dari daun katuk sebagai pengganti feed additive komersial terhadap performans ayam broiler.
2. Pengaruh penggunaan ekstrak air dari daun katuk sebagai pengganti feed additive komersial terhadap mutu daging broiler.
3. Pengaruh penggunaan ekstrak air dari daun katuk sebagai pengganti feed additive komersial terhadap penimbunan lemak pada broiler.

Tahap 4. Analisis data
Hasil penelitian akan dianalisis ANOVA dan jika berbeda nyata akan diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test. Untuk menentukan metode yang paling efektif berdasarkan variabel-variabel yang diukur, maka akan dilakukan uji kecocokan relatif untuk variabel-variabel yang berbeda nyata.


Penelitian trim 2
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Peternakan dan Agronomi, Fakultas Pertanian, UNIB untuk analisis sampel.
Penelitian direncanakan melalui 4 tahap yaitu: 1). tahap pembuatan ekstrak daun katuk; 2). tahap persiapan kandang dan pemeliharaan ayam petelur; 3). Analisis laboratorium dan; 4) Analisis data.

Tahap 1. Ekstraksi daun katuk
Ekstraksi daun katuk dilakukan dengan menggunakan metode yang sama pada tahun pertama.
Tahap 2. Pemeliharaan ayam petelur
Penelitian ini menggunakan ayam petelur tahap produksi. Ransum yang digunakan mengandung protein kasar 16,5% dan ME 2800 kkal/kg. (NRC, 1994) tanpa suplementasi antibiotika.
Empat puluh delapan ekor ayam petelur dikelompokkan ke dalam 6 kelompok perlakuan yaitu sebagai berikut:
1. Kontrol yaitu ayam petelur yang yang diberi pakan plus 5 g feed additive komersial/ /kg pakan
2. Ayam petelur diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstraksi pada suhu 5oC sebesar 5 g/kg pakan.
3. Ayam petelur diberikan pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC sebanyak 2,5 g/kg pakan plus 2,5 g feed additive komersial/kg pakan.
4. Ayam petelur yang diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 30oC sebesar 5 g/kg pakan.
5. Ayam petelur yang diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstraksi pada suhu 60oC sebesar 5 g/kg pakan.
6. Ayam petelur yang diberi pakan mengandung ekstrak katuk yang diekstrak pada suhu 90oC sebesar 5g /kg pakan.
Setiap perlakuan terdiri dari 8 buah kandang yang berisi 1 ekor ayam petelur (individual cage). Susunan pakan tercantum pada Tabel 1. Ayam petelur diberi pakan percobaan selama 30 hari. Ransum diberikan sebanyak 100 g/hari/ekor. Jumlah ransum yang dikonsumsi, konversi pakan dan produksi telur diukur setiap minggu.

Tabel 1. Susunan Ransum Percobaan (g/kg)
Bahan pakan P0 P1 P2 P3 P4 P5
Jagung kuning
Bungkil kedelai
Dedak
Tepung ikan
Minyak
Kalsium karbonat
EDK 5oC
EDK 30oC
EDK 60oC
EDK 90oC
Mineral mix
Feed additive komerisialm (top mix)
Jumlah
Komposisi 510
140
200
70
10
35
0
0
0
0
30
5


1.000
510
140
200
70
10
35
0
0
0
2,5

2,5


1.000 510
140
200
70
10
35
5
0
0
0
30
0


1.000 510
140
200
70
10
35
0
5
0
0
30
0


1.000
510
140
200
70
10
35
0
0
5
0
30
0


1.000
510
140
200
70
10
35
0
0
0
5
30
0


1.000


Tahap 3. Pengambilan sampel dan analisis laboratorium
Sebanyak 5 butir telur pada setiap kelompok dikoleksi, dan kemudian dianalisis kadar protein, asam amino, mineral (kalsium, fosfor, kalium dan besi), kolesterol dan -karotin pada kuning telur.
Asam amino ditentukan setelah hidrolisis sample dalam 1 ml 6 mol/l distilled hydrochloric acid yang mengandung 0,1% fenol dalam tabung gelas dalam kondisi hampa selama 24 jam pada suhu 110oC. Asam amino kemudian diukur dengan HPLC yang dikalibrasi dengan campuran asam amino yang diketahui konsentrasinya menurut metode Morel et al. (2003). Kolesterol kuning telur dianalisis dengan modifikasi Liebermann-Burchad sebagai berikut. Sampel kuning telur ditimbang (0,01-0,1 g) dan dimasukkan ke dalam tabung yang ditambahkan 12 ml alcohol-eter (3:1) sedikit demi sedikit sambil diaduk selama 1-2 menit. Kemudian dibiarkan selama 30 menit. Setelah itu dipusingkan pada 3000 rpm selama 10 menit. Dekantasi larutan (supernatan) ke dalam tabung berskala dengan memasukkan kloroform sampai mencapai 5 ml. Ke dalam 2 tabung gelas yang lain masing-masing masukkan 5 ml standar kolesterol dan 5 ml kloroform (untuk blanko). Kemudian ke dalam 3 tabung tersebut tambahkan 2 ml asam asetat anhidrat dan 0,1 ml asam sulfat pekat. Kocok dan biarkan selama 15 menit, diukur absorbsinya pada spectrophotometer dengan panjang gelombang 420 nm. Kadar -karotin dalam telur dianalisis dengan metode yang dijelaskan oleh Subekti (2003).
Untuk uji mutu telur, maka akan diuji berat telur, tebal kerabang, specific gravity, Haught Unit, tinggi rongga udara, warna yolk dan uji organoleptik. Untuk uji organolepteik, sepuluh panelis sensori terlatih akan diminta untuk membandingkan palatabilitas relatif dari rasa dan bau amis. Uji kualitas telur diukur setiap 2 minggu. Uji warna yolk dilakukan dengan cara membandingkan warna yolk dengan menggunakan yolk colour scale. Panelis juga diminta menilai bau amis dan rasa dari nilai 1 sampai dengan 5. Bau telur dinilai berdasarkan nilai 1 (sangat amis), nilai 2 (amis), nilai 3 (agak amis), nilai 4 (kurang amis) dan nilai 5 (tidak amis). Untuk uji rasa, panelis diminta untuk mencicipi dan menilai rasa telur dari tidak enak (nilai 1) sampai dengan sangat enak (nilai 5). Untuk uji rasa, telur direbus pada suhu 80oC selama 20 menit, didinginkan dan diuji rasa.
Output yang diharapkan adalah diperolehnya level ekstrak daun katuk terbaik untuk memproduksi egg designer yang efisien. Selain itu diharapkan menghasilkan publikasi ilmiah tingkat internasional dan 3 skripsi mahasiswa.

Tahap 4. Analisis data
Hasil penelitian akan dianalisis ANOVA dan jika berbeda nyata akan diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test.


IV. PEMBIAYAAN
JENIS PENGELUARAN ANGGARAN
TAHUN 1 ANGGARAN
trim 2
Pelaksana (Gaji dan upah) 2.800.000 2.800.000
Peralatan 0 0
Bahan Aus (material penelitian) 26.060.000 30.712.000
Perjalanan 3.400.000 3.400.000
Pertemuan/seminar 800.000 800.000
Laporan dan publikasi 2.300.000 2.300.000
Lain-lain 600.000 600.000
Total Anggaran 35.960.000 40.612.000

DAFTAR PUSTAKA

Agustal, A., M. Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3 (3): 31-33.
A O A C. 1980. Official methods of analysis. 11 ed. Association of Official Analytical Chemist, Washintong, D. C.
Anonimus. 1995. Khasiat katuk sebagai tanamaan obat. Trubus No 307. Jakarta.
Barton, M. D. dan W. S. Hart. 2001. Public health risks: Antibiotic resistance- A review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 414-422.
Cao, J., K. Li, X. Lu and Y. Zhao. 2004. Effects of florfenical and chromium (III) on humoral immune response in chicks. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17: 366-370.
Chapman, H. and E. Saleh. 1999. Effect of different concentration of monensisn and monensin withdrawal upon the control of coccidiosis in the turkey. Poultyry Sci. 78: 50-56.
Chang, Y. L., Y. T. Yao, N. S. Wang and Y. C. Lee. 1998. Segmental necrosis of small bronchi after prolong intakes of Sauropus androgynus in Taiwan. Am. J. Respir. Crit. Care Med., 157: 594-598.
Chen, Y. J., K. S. Son, B. J. Min, J. H. Cho, O. S. Kwon dan I. H. Kim. Effects of dietary probiotic on growth performance, nutrients digestibility, blood characteristics and fecal noxious gas content in growing pigs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18:1464-1468.
Chiang, S. H. and W. M. Hsieh. 1995. Effect of direct-fed microorganisms on broiler growth performance and liter ammonia level. Asian_Aus. J. Anim. Sci. 8:159-162.
Collins, C. H., P. M. Lyne and J. M. Grange. 1989. Microbiological Methods. 6th ed. Butterworths, Oxford.
Convay, D. P., A. D. Dayton and M. E. KcKenzie. 1999. Comparative testing of anticoccidials in broiler chickens. The role of coccidial lesion score. Poultry Sci. 78: 529-535.
Crawford, M. A., W. Doyle, P. Drury, K. Chebremeskel and G. Williams. 1988. The food chain for n-6 and n-3 fatty acids with special refernce to animal production. In: Dietary omega 3 and omega 6 fatty acids, biological effects and nutritional essentiallly. Gall C. and A. P. Simopoulos eds. Plenum Press, New York and London.
Dilworth, B. C. and E. J. Day. 1978. Lactobacillus culture in broiler diets. Poultry Sci. 57: 1101 (Abstr).
Hulshof, P. J. M., C. Xu, P. van de Bovenkamp, Muhilal dan C. E. West. 1997. Application of a validated method for the determination of provitamin A carotenoids in Indonesia foods of different maturity and origin. J. Agric. Foor Chem. 45: 1174-1179.
Imik, H., A. Hayirli, L. Turgut, E. Lacin, S. Celebi, F. Koc dan L. Yildiz. 2006. Effects of additive on laying performance, metaboloic profile, and egg quality of hens fed a high level sorghum (Sorghum vulgare) during the peak layaing period. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19: 573-581.
Ipek, A., O. Canbolat dan A. Karabulut. 2007. The effect of vitamin E and vitamin C on the performance of japanese quails (Coturnix coturnix Japonica) reared under heat stress during growth and egg production period. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20:252-256.
Israelsen, M., M. Virsod and I. D. Hore. 1996. Reducing Salmonella efficiency: Expander plus pellet press. Feed Int. 17: 31-34.
Jones, G. P. D. and D. J. Farrell. 1992. Early life food restriction of broiler chickens. II. Effect of food restriction on the development of fat tissue. Bri. Poultry Sci. 33: 589-601.
Khaksefidi, A dan Sh. Rahimi. 2005. Effect of probiotic inclusion in the diet of broiler chickens on performance, feed efficiency and carcass quality. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18:1153-1156.
Kyriakis, S. C., I. Georgoulakis, A. Spais, C. Alexopoulos, C. C. Miliotis dan S. K. Kritas. 2003. Evaluation of toyocerin, a probiotic containing Bacillus toyoi spores, on health status and productivity of weaned, growing and finishing pigs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16: 1326-1331.
Lai, R. S., A. A. Chiang, M. T. Wu, J. S. Wang, N. S. Lai, J. Y. Lu and L. P. Ger. 1996. Outbreak of bronchiolitis obliterans associated with consumption of Sauropus androgynus in Taiwan. Lancet, 348: 83-85.
Mason, V. C. and A. Just. 1976. Bacterial activity in the hind gut of pigs. I. Its influence on the apparent digestibility of dietary energy and fat. Zaitschrift fur Tierphysiologie, Tierernahrung und Futtermittelkunde 36: 301-310.
Medion. 2007. Top Feed Supplement for Top Profit. Medion, Bandung.
Nishizawa, N. and Y. Fudamoto. 1995. The elevation of plasma concentration of high-density lipoprotein cholesterol in mice fed with protein from Proso millet. Biosci. Biotech. Biochem. 59: 333-335.
Rahayu, I. D. 1999. Sorgum, alternatif pengganti jagung dalam ransum broiler. Poultry Indonesia 229: 34-38.
Risfaheri, S., Yuliani dan Anggraeni. 1997. Studi pembuatan simplisia dan ekstrak kering daun katuk. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3 (3): 30-31.
Robinson, F. E., H. L. Classeen, J. A. Haufan and D. K. Onderka. 1992. Growth performance, feed efficiency and the incidence of skeletal and metabolic disease in full-fed and feed-restricted and roaster chickens. J. Appl. Poultry Res. 1: 33-41.
Santoso, U. 2001a. Effect of Sauropus androgynus Extract on the Carcass Quality of Broiler Chicks. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan 7: 22-28.
Santoso, U. 2001b. Effect of Sauropus androgynus Extract on the Performance of Broiler. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan 7: 15-21.
Santoso, U. 2001c. Effect of Sauropus androgynus Extract on Organ Weight, Toxicity and Number of Salmonella sp and Escherichia coli of Broilers Meat. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan, 7 (2): 162-169.
Santoso, U. and Sartini. 2001. Reduction of fat accumulation in broiler chickens by Sauropus androgynus (Katuk) leaf meal supplementation. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 346-350.
Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky. 2002. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Kualitas Telur yang Ramah Lingkungan pada Ayam Petelur. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun 1. Jakarta.
Santoso, U., Y. J. Setianto, T. Suteky dan Y. Fenita. 2003. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Kualitas Telur yang Ramah Lingkungan pada Ayam Petelur. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2. Jakarta.
Sinurat, A. P., T. Purwadaria, M. H. Togatorop, T. Basaribu, I. A. K. Bintang, S. Sitompul dan J. Rosida. 2002. Respon ayam pedaging terhadap penambahan bioaktif tanaman lidah buaya dalam ransum: Pengaruh berbagai bentuk dan dosis bioaktif dalam tanaman lidah buaya terhadap performans ayam pedaging. JITV 7: 69-75.
Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum. Program Pasca sarjana IPB. Bogor.
Williams, D. J. and R. Fuller. 1971. The influence of the intestinal microflora on nutrition. In: D. J. Bell and B. M. E. Freemon ed., Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Vol. 1. Academic Press. New York.
Winarno, F. G. dan M. Aman. 1974. Fisiologi Lepas Panen. Dep. THP Fatemeta, IPB> Bogor, hal. 99-100.
Whyte, R. T. 1993. Aerial pollutans and the health of poultry farmers. Wordl’s Poultry Sci. J. 49: 139-156.

LAMPIRAN
Penjelasan Tambahan


I. Pertimbangan Alokasi Biaya
Trim 1 ”Bulan ke-1 dan 2”
1.1. Anggaran untuk pelaksana:
No. Nama Alokasi Waktu Harga Satuan Jumlah (Rp)
1 Urip Santoso 2 bulan 150.000 1.200.000
2 Kususiyah 2 bulan 75.000 600.000
3 Suharyanto 2 bulan 75.000 600.000
4. Isnani Murti 2 bulan 50.000 400.000
Jumlah 2.800.000

NB= Tabelis*** sampai kebawah batas selesai dengan bintang selesai

1.2. Anggaran untuk komponen peralatan
No. NAMA ALAT KEGUNAAN DALAM PENELITIAN HARGA SATUAN (Rp) HARGA SELURUHNYA (Rp)


1.3. Anggaran untuk bahan aus (material penelitian).
NO NAMA BAHAN KEGUNAAN DALAM PENELITIAN HARGA SATUAN (Rp HARGA SELURUHNYA (Rp)
1 2 rim Kertas HVS Administrasi, laporan 30.000 60.000
2 1 boks CD Simpan data 100.000 100.000
4 1 buah Tinta printer Print 40.000 40.000
5 200 ekor Broiler Objek penelitian 5.000 1.000.000
6 800 kg ransum Pakan percobaan 5.000 4.000.000
7. Bahan untuk pembuatan kandang Tempat broiler 600.000 600.000

1.3. Anggaran untuk bahan aus (material penelitian).
NO NAMA BAHAN KEGUNAAN DALAM PENELITIAN HARGA SATUAN (Rp HARGA SELURUHNYA (Rp)
8 50 m plastik Penutup kandang 5.000 250.000
9 200 kg daun katuk Penelitian 5.000 1.000.000
10 2 liter Rodalon Desinfektan 25.000 50.000
11 2 botol Vaksin ND Vaksinasi 100.000 200.000
12 2 botol Vaksin Gumboro Vaksinasi 100.000 200.000
13 Vitachick 100.000
14 Obat-obatan lain 100.000
15 Tempat menjemur Jemur katuk 50.000 50.000
16 Kapas 10.000 10.000
17 Analisis kolesterol daging (30 sampel) 100.000 3.000.000
18 Analisis asam lemak (30 sampel) 200.000 6.000.000
19 Uji organoleptik (30 sampel) 20.000 600.000
20 Analisis total lipid daging (30 sampel) 40.000 1.200.000
21 Analisis asam amino daging (30 sampel) 250.000 7.500.000
Jumlah 26.060.000

1.4. Anggaran untuk perjalanan
NO TUJUAN KEPERLUAN Biaya satuan BIAYA SELURUHNYA (Rp)
1 Transportasi lokal Bahan penelitian 500.000 500.000
2 Kepahyang Bahan penelitian 200.000 400.000
3. Curup Bahan penelitian 250.000 500.000
4. Bogor Antar sampel 2.000.000 2.000.000
3.400.000


1.5. Pengeluaran lain-lain:
NO. JENIS PENGELUARAN BIAYA SELURUHNYA
1 Analisis data 200.000
2 Penyusunan dan perbanyakan laporan 800.000
3 Seminar 800.000
4 Publikasi 1.500.000
5 Bahan pustaka 200.000
6 Dokumentasi 200.000
Jumlah 3.700.000

Jumlah total biaya penelitian Rp 35.960.000,- (Tiga puluh lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).

Trim 2 “Bulan ke-3 dan 4”
1.2. Anggaran untuk pelaksana:
No. Nama Alokasi Waktu Harga Satuan Jumlah (Rp)
1 Urip Santoso 2 bulan 150.000 1.200.000
2 Kususiyah 2 bulan 75.000 600.000
3 Suharyanto 2 bulan 75.000 600.000
4. Isnani Murti 2 bulan 50.000 400.000
Jumlah 2.800.000

1.2. Anggaran untuk komponen peralatan
No. NAMA ALAT KEGUNAAN DALAM PENELITIAN HARGA SATUAN (Rp) HARGA SELURUHNYA (Rp)
1.


1.3. Anggaran untuk bahan aus (material penelitian).
NO NAMA BAHAN KEGUNAAN DALAM PENELITIAN HARGA SATUAN (Rp HARGA SELURUHNYA (Rp)
1 2 rim Kertas HVS Administrasi, laporan 30.000 60.000
2 1 boks CD Simpan data 100.000 100.000
4 1 buah Tinta printer Print 40.000 40.000
5 50 ekor ayam petelur (sewa) Objek penelitian 24.000 1.200.000
6 300 kg ransum Pakan percobaan 5.000 1.500.000
7. Sewa kandang Tempat petelur 300.000 300.000
9 200 kg daun katuk Penelitian 5.000 1.000.000
10 2 liter Rodalon Desinfektan 25.000 50.000
11 2 botol Vaksin ND Vaksinasi 100.000 200.000
12 2 botol Vaksin Gumboro Vaksinasi 100.000 200.000
13 Vitachick 100.000
14 Obat-obatan lain 100.000
15 Tempat menjemur Jemur katuk 50.000 50.000
16 Kapas 12.000 12.000
17 Analisis kolesterol daging (30 sampel) 100.000 3.000.000
18 Analisis karotin (24 sampel) 250.000 7.500.000
19 Uji organoleptik (30 sampel) 20.000 600.000
20 Analisis total lipid daging (30 sampel) 40.000 1.200.000
21 Analisis vitamin A yolk (24 sampel) 250.000 6.000.000
22 Analisis asam amino daging (30 sampel) 250.000 7.500.000
Jumlah 30.712.000



1.4. Anggaran untuk perjalanan
NO TUJUAN KEPERLUAN Biaya satuan BIAYA SELURUHNYA (Rp)
1 Transportasi lokal Bahan penelitian 500.000 500.000
2 Kepahyang Bahan penelitian 200.000 400.000
3. Curup Bahan penelitian 250.000 500.000
4. Bogor Antar sampel 2.000.000 2.000.000
3.400.000

1.5. Pengeluaran lain-lain:
NO. JENIS PENGELUARAN BIAYA SELURUHNYA
1 Analisis data 200.000
2 Penyusunan dan perbanyakan laporan 800.000
3 Seminar 800.000
4 Publikasi 1.500.000
5 Bahan pustaka 200.000
6 Dokumentasi 200.000
Jumlah 3.700.000

NB= Batas selesai tabelis***

Jumlah total biaya penelitian Rp 40.612.000,- (Empat puluh juta enam ratus dua belas ribu rupiah).

II. Dukungan pada Pelaksanaan Penelitian
1. Dukungan aktif yang sedang berjalan.
a. Dukungan dana penelitian
Dukungan dana dari sumber lain tidak ada.
b. Penelitian dosen dan mahasiswa, seminar dan publikasi
Beberapa publikasi, seminar dan hasil penelitian telah dilakukan oleh Peneliti Utama yang langsung mendukung penelitian yang diajukan (lihat biodata). Peneliti utama telah banyak meneliti penggunaan tumbuhan obat bagi broiler. Demikian pula dengan peneliti pendamping.

2. Dukungan yang sedang dalam tahap pertimbangan
Tidak ada
3. Proposal yang sedang direncanakan atau dalam taraf persiapan
Tidak ada

3.2. Peralatan Utama:
NO ALAT TEMPAT KEGUNAAN KEMAMPUAN
1. Spektofotometer Faperta UNIB Analisis kolesterol 40 sampel/hari
2. GLC Faperta UNIB Analisis asam lemak 40 sampel/hari
3. Soklet Faperta UNIB Analisis total lipid 10 samel/hari
4. Satu set alat analisis protein Faperta UNIB Analisis protein 10 sampel/hari
5. Ruang steril Faperta UNIB Analisis mikrobia 20 sampel/hari



NOTE :
*Ini hanya untuk Pembelajaran saya, Guna mengetahui sekilas bagaimana cara membuat proposal penelitian.


thank you^^

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates